Ini adalah judul sebuah artikel menarik, nemu dari blog nya DGI. Dari judul yang cukup provokatif ini, saya coba baca isinya pelan-pelan, karena takut 'keselek'. Tulisan beruntun tanpa spasi antar paragraf rupanya bikin otak rada 'mules' mencernanya.
Ini salah satu paragraf yang menurut saya menarik:
Desain grafis jalanan tidak mengenal apa itu lay out, apa itu tipografi, apa itu nirmana datar, apa itu teori warna, apa itu lettering, apa itu nirmana ruang, apa itu apa ini, tambahkan saja daftar perkuliahan Anda disini. Desain grafis jalanan lahir dari pemikiran bodoh dan absurd masyarakat kita yang buta tentang “pengetahuan seni”, tapi apakah kata-kata tadi dirasakan sebagai penghinaan? Asalamakata! Kata-kata di atas tadi adalah pujian! Pujian yang tidak dibikin demi apapun. Mereka yang menjadi desainer grafis jalanan, telah melakukan pekerjaan terbaiknya. Mereka tak mengenal teori ini itu, mereka belajar dari, katakanlah alamnya, lingkungan geografis, kondisi psikografisnya, lalu apakah mereka siap dengan gempuran dari gaya-gaya desain dari anak-anak sekolahan desain grafis, yang merasa punya hak untuk mengklaim sesuatu sebagai desain yang baik dan mana yang tidak? Layakkah pembenaran seperti itu? Dapatkah kita benar-benar melupakan barang sejenak apapun yang telah dipelajari di bangku sekolah, dan melihat dengan ketelanjangan mata pada desain-desain grafis jalanan di warung-warung pinggiran, di rumah-rumah makan jalanan, agen-agen bus perjalanan antar kota antar propinsi, coretan-coretan di pagar dinding rumah-rumah, bungkus-bungkus cemilan produksi rumahan, toko-toko kelontong, spanduk-spanduk pertandingan bola antar kampung?Agak pusing bacanya? OK, kita potong-potong aja biar rada gampang ditelan.
Desain grafis jalanan tidak mengenal apa itu lay out, apa itu tipografi, apa itu nirmana datar, apa itu teori warna, apa itu lettering, apa itu nirmana ruang, apa itu apa ini, tambahkan saja daftar perkuliahan Anda disini. Desain grafis jalanan lahir dari pemikiran bodoh dan absurd masyarakat kita yang buta tentang “pengetahuan seni”, tapi apakah kata-kata tadi dirasakan sebagai penghinaan? Asalamakata! Kata-kata di atas tadi adalah pujian! Pujian yang tidak dibikin demi apapun. Mereka yang menjadi desainer grafis jalanan, telah melakukan pekerjaan terbaiknya. Mereka tak mengenal teori ini itu, mereka belajar dari, katakanlah alamnya, lingkungan geografis, kondisi psikografisnya...Mengenai karya grafis jalanan, lahir secara spontan dan sebagian besar adalah ungkapan 'kekesalan' kalau tidak mau disebut sebagai ekspresi naluri purba atas keterkungkungan. Kemudian mengaitkannya (baca: memperbandingkannya) dengan desain grafis, adalah sebuah kesia-siaan menurut saya. Karya-karya itu lahir dari lingkungannya, dengan konteks sosial yang tidak bisa dilepaskan dari hasil akhir karyanya. Jadi setuju dengan pernyataan dalam kutipan di atas, karya-karya di jalan itu adalah sebuah naluri alamiah, tidak dirancang secara sistematis, karenanya tidak perlu memaksakan standar desain grafis untuk meninjaunya. Tentu saja kita tidak akan menemukan jawaban atasnya. Mungkin ada komposisi di sana-sini, tapi lalu apa? Karya itu tidak bicara apa-apa tanpa 'kemarahan' yang melatarbelakanginya. Justru 'kemarahan' itulah nyawanya. Warna dan bentuk hanyalah topengnya. Mungkin juga bukan 'kemarahan' yang ada di belakangnya, mungkin juga 'keisengan' belaka. Mari kita lanjutkan kutipannya...
...lalu apakah mereka siap dengan gempuran dari gaya-gaya desain dari anak-anak sekolahan desain grafis, yang merasa punya hak untuk mengklaim sesuatu sebagai desain yang baik dan mana yang tidak? Layakkah pembenaran seperti itu? Dapatkah kita benar-benar melupakan barang sejenak apapun yang telah dipelajari di bangku sekolah, dan melihat dengan ketelanjangan mata pada desain-desain grafis jalanan di warung-warung pinggiran, di rumah-rumah makan jalanan, agen-agen bus perjalanan antar kota antar propinsi, coretan-coretan di pagar dinding rumah-rumah, bungkus-bungkus cemilan produksi rumahan, toko-toko kelontong, spanduk-spanduk pertandingan bola antar kampung?Inilah bagian dari penindasannya. Bangku sekolah, adalah ladangnya 'penindasan'. Jangan lalu beranggapan mahasiswa adalah korbannya. Siapapun dalam struktur sekolah, adalah korban penindasan. Penindasan yang paling halus, yang oleh para penggiatnya disebut sebagai mahzab. Karena sekolah harus punya mahzab, maka kalau Anda tidak setuju dengan mahzab-nya, jangan sekolah disini. Mahzab, adalah ajaran, aliran, atau bisa juga sampai ideologi. Bukan besarnya uang pangkal atau uang pembangunan, atau bahkan uang bangku. Karena menekankan mahzab, maka sekolah harus banyak jumlahnya, dan berani menawarkan mahzab-nya masing-masing. Soal harga, bisa nomor dua kalau Anda fanatik terhadapnya. OK, kembali ke grafis jalanan tadi. Apa perlunya sekolah menghakimi karya-karya itu? Karena sekolah perlu menegakkan kredibilitasnya. Karena sekolah merasa paling benar setelah menguasai informasi paling mutakhir. Karena sekolah merasa, keilmuan itu harus ada standarnya. Apa sekolah salah? Tentu tidak. Dalam dunia persekolahan, memang diberlakukan standar-standar. Tapi jangan bawa-bawa standar itu di ruang terbuka. Tidak semua orang rela berkerut jidat hanya untuk menikmati coretan-coretan jahil di jalanan, yang terkadang sarat makna, tapi juga tak jarang iseng belaka. Dan seperti juga kesimpulan di akhir tulisan yang saya temukan itu, melawan penindasan gaya dalam desain grafis adalah sebuah keisengan belaka. Lha ngapain bikin perlawanan? Kata orang-orang 'Samin', prinsipnya adalah "bertahanlah sekuat tenaga, maka penyerangmu akan kelelahan, dan mungkin akhirnya akan setuju denganmu." Seberapa kuat kita bertahan? Inilah pertanyaan yang sesungguhnya. Mangga ah. UPDATE: Lihat juga disini, A' Dadan menambahkan link yang sama. (post asli tanggal 9 Mei 08')