Eko Indarwanto Pekerja Media di Yogyakarta
INI adalah keprihatinan maraknya iklan di ruang publik yang mengganggu kenyamanan dan keamanan. Di balik iklan dalam bentuk baliho atau billboard ada bayangan konsumerisme yang semakin kuat menjerat kehidupan masyarakat, yang ditandai semakin banyaknya papan reklame atau iklan berukuran raksasa terpasang di tempat strategis penjuru Kota Yogyakarta.
Dengan gambar dan kata yang sangat persuasif, iklan tersebut siap menjaring masyarakat dalam budaya konsumerisme. Orang diajak memenuhi kebutuhan seperti dicitrakan dalam gambar atau kata dalam iklan itu. Orang disebut modern, jika mengikuti mode atau ikon yang ditampilkan pengiklan dalam papan reklame. Dengan memanfaatkan kelemahan manusia, malu jika tidak mengikuti mode yang sedang tren, produsen memamerkan produknya dengan bentuk yang beraneka ragam, sehingga membuat orang berkeinginan memenuhi dan mengikuti mode yang sedang terjadi, walau kemampuannya terbatas.
Bertaburannya papan iklan di tempat strategis Yogyakarta, terkesan asal pasang dengan tidak memperhatikan nilai estetis sebuah penataan ruang. Baliho itu terkesan saling berlomba menarik perhatian masyarakat. Ada yang menekankan pada unsur kata yang sering tidak jelas tujuannya, penggunaan lampu yang sangat menyilaukan mata sampai tidak jelas huruf atau bunyinya. Belum lagi iklan yang ukurannya sangat besar. Bahkan, sampai pada gambar yang tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat di sekitarnya. Barangkali pemasang iklan tersebut beranggapan, masyarakat Yogyakarta memiliki problem dengan penglihatannya, sehingga perlu dipertontonkan sebuah realitas baru dalam bentuk gambar atau kata.
Realitas gambar adalah realitas kehidupan, sehingga nilai kehidupan berada di atas gambar iklan bukan kehidupan itu sendiri. Kenyataan ini jelas merupakan ancaman bagi warga Yogyakarta yang harus menerima medan perang baru dalam bentuk pertentangan antara keinginan dan daya beli. Pengusaha berusaha menarik keuntungan dengan target penjualan yang tinggi melalui pesona papan iklan. Bagi masyarakat yang kurang bisa mengendalikan nafsu konsumerismenya serta kegemaran belanja tanpa memperhatikan kemampuan, harus bersiap-siap terjebak dalam pusaran pasar yang secara ekonomis kurang menguntungkan. Bagi yang mampu secara ekonomis, barangkali tidak terlalu dipersoalkan. Namun, bagi yang kurang mampu, iklan tersebut bagaikan mimpi yang tidak pernah terbeli.
Di bagian lain, tumbuh suburnya pohon iklan dalam bentuk baliho di lahan milik Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta merupakan keuntungan tersendiri. Sayangnya, kesan yang terlihat saat ini Pemkot Yogyakarta hanya mementingkan pemasukan dan kurang memperhatikan dampak jangka menengah dan panjang dengan beraneka ragam iklan yang terpasang, sehingga mengubah wajah kota. Yogyakarta bukan lagi berhati nyaman, tetapi berhati iklan.
Dari sisi estetis, bagaimana mungkin indah sebuah pemandangan jika di kawasan perempatan penuh dengan iklan dengan berbagai ukuran, yang saling berlomba menonjolkan diri, sehingga tidak terhindarkan ada satu atau dua iklan yang tertutup papan iklan lainnya. Belum lagi masa pemasangan iklan yang terkadang dibiarkan saja tidak terkontrol, sehingga papan reklame dari kayu lapis atau kain kelihatan tercerai berai, kumal, dan siap mencederai pengguna jalan raya sewaktu-waktu. Dari jenis iklan pun sangat didominasi iklan rokok, sehingga mata ini pun dipaksa "merokok".
Untuk itu, pemerintah perlu menertibkan dan melindungi kepentingan masyarakat yang membutuhkan kenyamanan. Ruang publik sesungguhnya bukan milik pemerintah dan pengiklan.
Sumber: Kompas - Rabu, 28 Mei 2003 | http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/28/jateng/336710.htm [deadlink]
lonelyplanetimages.com |
Dengan gambar dan kata yang sangat persuasif, iklan tersebut siap menjaring masyarakat dalam budaya konsumerisme. Orang diajak memenuhi kebutuhan seperti dicitrakan dalam gambar atau kata dalam iklan itu. Orang disebut modern, jika mengikuti mode atau ikon yang ditampilkan pengiklan dalam papan reklame. Dengan memanfaatkan kelemahan manusia, malu jika tidak mengikuti mode yang sedang tren, produsen memamerkan produknya dengan bentuk yang beraneka ragam, sehingga membuat orang berkeinginan memenuhi dan mengikuti mode yang sedang terjadi, walau kemampuannya terbatas.
Bertaburannya papan iklan di tempat strategis Yogyakarta, terkesan asal pasang dengan tidak memperhatikan nilai estetis sebuah penataan ruang. Baliho itu terkesan saling berlomba menarik perhatian masyarakat. Ada yang menekankan pada unsur kata yang sering tidak jelas tujuannya, penggunaan lampu yang sangat menyilaukan mata sampai tidak jelas huruf atau bunyinya. Belum lagi iklan yang ukurannya sangat besar. Bahkan, sampai pada gambar yang tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat di sekitarnya. Barangkali pemasang iklan tersebut beranggapan, masyarakat Yogyakarta memiliki problem dengan penglihatannya, sehingga perlu dipertontonkan sebuah realitas baru dalam bentuk gambar atau kata.
Realitas gambar adalah realitas kehidupan, sehingga nilai kehidupan berada di atas gambar iklan bukan kehidupan itu sendiri. Kenyataan ini jelas merupakan ancaman bagi warga Yogyakarta yang harus menerima medan perang baru dalam bentuk pertentangan antara keinginan dan daya beli. Pengusaha berusaha menarik keuntungan dengan target penjualan yang tinggi melalui pesona papan iklan. Bagi masyarakat yang kurang bisa mengendalikan nafsu konsumerismenya serta kegemaran belanja tanpa memperhatikan kemampuan, harus bersiap-siap terjebak dalam pusaran pasar yang secara ekonomis kurang menguntungkan. Bagi yang mampu secara ekonomis, barangkali tidak terlalu dipersoalkan. Namun, bagi yang kurang mampu, iklan tersebut bagaikan mimpi yang tidak pernah terbeli.
Di bagian lain, tumbuh suburnya pohon iklan dalam bentuk baliho di lahan milik Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta merupakan keuntungan tersendiri. Sayangnya, kesan yang terlihat saat ini Pemkot Yogyakarta hanya mementingkan pemasukan dan kurang memperhatikan dampak jangka menengah dan panjang dengan beraneka ragam iklan yang terpasang, sehingga mengubah wajah kota. Yogyakarta bukan lagi berhati nyaman, tetapi berhati iklan.
Dari sisi estetis, bagaimana mungkin indah sebuah pemandangan jika di kawasan perempatan penuh dengan iklan dengan berbagai ukuran, yang saling berlomba menonjolkan diri, sehingga tidak terhindarkan ada satu atau dua iklan yang tertutup papan iklan lainnya. Belum lagi masa pemasangan iklan yang terkadang dibiarkan saja tidak terkontrol, sehingga papan reklame dari kayu lapis atau kain kelihatan tercerai berai, kumal, dan siap mencederai pengguna jalan raya sewaktu-waktu. Dari jenis iklan pun sangat didominasi iklan rokok, sehingga mata ini pun dipaksa "merokok".
Untuk itu, pemerintah perlu menertibkan dan melindungi kepentingan masyarakat yang membutuhkan kenyamanan. Ruang publik sesungguhnya bukan milik pemerintah dan pengiklan.
Sumber: Kompas - Rabu, 28 Mei 2003 | http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/28/jateng/336710.htm [deadlink]