Membaca, bukan aktivitas yang mudah, ternyata. Menangkap apa yang dikemukakan, persis seperti apa yang dimaksudkan "penulisnya", butuh kesabaran tersendiri. Terutama karena dalam artikel ini, saya mau bicara tentang bahasa rupa.
Adalah Prof. Dr. Primadi Tabrani, Guru Besar Fakultas Seni Rupa ITB, Bandung, yang berupaya selama bertahun-tahun menemukan "cara baca" bahasa rupa yang ada di sekeliling kita. Mulai dari cara anak-anak menggambar, kaitannya dengan bahasa rupa di jaman pra-sejarah, bahasa rupa yang digunakan dalam wayang beber Jaka Kembang Kuning, hingga kemudian cara membaca relief Borobudur. Penelitian ini kemudian berujung dalam Disertasi Doktor-nya setebal 1651 halaman.
Borobudur, sudah menjadi obyek penelitian sejak dulu, baik oleh para arkeolog maupun para ahli seni rupa. Selain karena Candi Borobudur digadang sebagai salah satu candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur juga menyimpan banyak misteri lain. Sebagai informasi, Candi Borobudur sejatinya adalah kitab tertulis yang dimanifestasikan dalam bentuk rupa, relief dan patung batu atau arca (di dalam stupa).
Dengan mempelajari dinding-dinding Borobudur, hingga arca-arca di akhir perjalanan mengitari Borobudur, maka seorang calon pendeta Buddha bisa belajar. Borobudur, tak ubahnya sebuah sekolah.
Tetapi ternyata tidak mudah menafsirkan "kalimat" dalam bahasa gambar pada relief Borobudur. Selain karena terlampau tua usia candi ini, hingga tidak mungkin lagi kita bertanya pada "penulisnya", tampilan bahasa rupa dalam relief candi tidak serupa dengan bahasa rupa yang kita kenal sekarang. Sebagai contoh saja, dari Panil No. 46-49 seri Lalitavistara, bisa dibaca dari penelitian dari borobudur.tv berikut ini:
The Bodhisattva participates in the competitions. When the Bodhisattva attempted to demonstrate his skill as an archer, every bow that he drew broke asunder in his hands. "Is there any bow to be found here in the city that is suited to my reach and power of body?" asked Gautam.
"Your grandfather's bow is preserved in a temple nearby, where it is honored with perfumes and garlands,” replied Gopa's father. “but never has another man been able to bend it to his will.”
"Let the bow be brought, my lord," answered Gautama, "so that I might make a trial of it."
When the bow arrived, the Bodhisattva grasped it with his left hand and without rising from his seat or uncrossing his legs, he drew it back with a single finger. He then stood up and unleashed an arrow that pierced seven iron drums, a row of seven trees and an iron boar before it finally entered the ground and vanished.
Kalau kita cermati gambar reliefnya, mungkin cukup masuk akal. Dengan pemahaman terbatas mengenai apa dan bagaimana relief itu dibuat, maka banyak sebenarnya penelitian lain yang "bingung" dengan bahasa rupa yang digunakan dalam relief tersebut. Maka, digunakanlah grammar yang dianggap biasa dipakai, dan begitulah kesimpulan dari cerita pada panel tersebut.
Pertanyaannya, apakah benar begitu cara membacanya?
Foto yang terbaik yang bisa saya dapat di internet, dari web http://www.photodharma.net. Dibuat oleh seseorang yang mengaku bernama Anandajoti Bhikkhu, yang saya tidak yakin apakah ia orang Indonesia. Yang pasti, kalau beliau ini yang membuat fotonya, berati ia sudah pernah berkunjung ke Borobudur.
Nah, cara membacanya sebenarnya sederhana, dan sangat terkait dengan cara anak kecil menggambar, anak kecil di seluruh dunia. Berdasarkan penelitian Pak Primadi pula, bahwa bahasa rupa yang digunakan dalam Borobudur, merupakan bahasa yang unik, dan tidak ditemukan di tempat lain. Dalam kata lain, merupakan bahasa rupa yang khas Indonesia.
Bahasa rupa yang digunakan itu disebut sebagai Ruang Waktu Datar (RWD), yang sangat berbeda dengan Naturalis-Perspektif-Momen Opname (NPM) dari Barat yang selama ini kita kenal. Secara umum, RWD lebih mementingkan gesture, sehingga relatif tokoh digambarkan secara lengkap (kepala-kaki), sedangkan NPM sangat peduli dengan mimik wajah.
NPM sudah menjadi semacam keharusan (menghegemoni), sehingga seringkali pendidikan telah melenceng dengan memaksakan bahasa NPM ini kepada anak. Padahal secara alamiah, anak-anak lebih mengenal RWD dulu, baru kemudian pada usia tertentu bisa memahami NPM.
Jadi, bagaimana pula cara membaca panel itu yang benar? Nah, kira-kira begini cara bacanya:
Teks yang dirupakan pada panil bercerita tentang sayembara memanah, tersebar di 3 halaman dan mencakup 4 paragraf cerita. Secara naluriah, kita memandang relief ini seperti gambar diam (still picture), layaknya hasil jepretan kamera.
Padahal tidak begitu. Relief ini menggunakan lapisan (layer), yang menunjukkan dimensi waktu, dan pergeseran tokoh sebagai sekuen. Lapis terdalam, menunjukkan peristiwa yang terjadi duluan. Arah pergeseran, dari kanan ke kiri. Dalam panel ini sebenarnya hanya ada 2 lapisan utama.
Lapis pertama, tampak di "latar belakang", sederetan peserta memanah yang sudah memanah duluan. Anggap saja latar muka yang ada tokoh memanah itu belum ada (gambar kedua, relief yang disederhanakan).
Lapis kedua, agar tidak membingungkan dipilah lagi jadi beberapa gambar. Agedan pada lapis kedua ini sebenarnya seperti kita sedang menonton negatif foto, atau negatif film layar lebar.
Gambar Lapis Kedua Adegan Pertama |
Pada gambar Lapis Kedua Adegan Pertama (pada gambar di atas), di sebelah kanan, yang berpayung dan duduk di atas "singgasana" adalah si tuan rumah sayembara. Tampaknya ia bangsawan (atau raja), karena bermahkota, dan duduk di tempat yang "ditinggikan". Pesannya, si bangsawan atau raja ini sedang menonton sayembara.
Anak panah yang diperbesar, menandakan anak panah itu penting (dalam teks, anak panah itu memang bukan sembarang anak panah). Pesannya kira-kira, Bodhisatwa menunggu giliran, karena ia memang mendapat giliran terakhir.
Gambar Lapis Kedua Adegan Kedua |
Gambar Lapis Kedua Adegan Ketiga |
Kemudian, gambar Lapis Kedua Adegan Ketiga Bodhisatwa memanah ke arah 7 pohon lontar, yang kita lihat adalah posisi memanah Bodhisatwa, dan anak panah yang menancap di bagian pohon.
Gambar Lapis Kedua Adegan Keempat |
Cerita berakhir pada gambar Lapis Kedua Adegan Keempat dengan anak panah yang menembus 7 pohon lontar, yang sebenarnya digambarkan dengan garis di tengah-tengah ke-7 pohon lontar itu.
Jadi, Bodhisatwa (Buddha) tidak memanah dari atas singgasana, karena itu bukan dia. Panil ini sebenarnya bercerita, mirip komik yang digambarkan dalam satu panil, dengan banyak bingkai (frame). Hanya saja, kalau komik jaman sekarang satu panil bisa terdiri dari beberapa bingkai, dan antar bingkai terpisah oleh ruang kecil yang disebut closure, maka dalam panil ini closure tersebut "dirupakan" dalam bentuk lapisan (layer), dan juga pergeseran letak tokoh tanpa bingkai.
Satu panel, multi layer, multi adegan, multi dimensi waktu.
Bodhisatwa tampil tiga kali pada "latar depan", karena itu sebenarnya persoalan pembabakan waktu, atau sekuen. Jadi tidak berarti ada 3 Bodhisatwa kembar, melainkan satu tokoh sedang melakukan satu aktivitas secara sekuen.
Kalau kita perhatikan, gambar anak punya kecenderungan sama. Anak seringkali menggambar dengan tokoh atau objek yang diulang, dan itu maksudnya adalah sekuen, tapi tanpa bingkai. Demikian pula, salah satu ciri khas gambar anak adalah menonjolkan objek yang dianggapnya penting.
Dalam gambar primitif, ada ekor sapi/kerbau yang digambarkan banyak (lebih dari satu), ini sebenarnya menceritakan ekor tersebut sedang bergerak, jadi bukan binatang aneh berekor banyak.
Masih banyak sebenarnya varian bahasa rupa yang digunakan, bukan cuma RWD yang dicontohkan di atas. Semoga berguna.
*Disarikan dari hasil diskusi dan perkuliahan Prof. Dr. Primadi Tabrani, yang bisa Anda dapat juga dari hasil penelitian doktoralnya, berjudul "Meninjau Bahasa Rupa Wayang beber Jaka Kembang Kuning, dari telaah Cara WImba dan Tata Ungkapan Bahasa Rupa Media Ruparungu Dwimatra Statis Modern, dalam hubungannya dengan Gambar prasejarah, Primitif, Anak, dan Relief cerita Lalitavistara Borobudur". 1991. + "Bahasa Rupa", Primadi Tabrani.