Branding yang lagi hot, memang punya penetrasi yang kuat terhadap gaya hidup dan kebudayaan manusia. Ia tidak lagi sekedar berjualan, tetapi juga menawarkan ideologi. Ini ulasan singkat mengenai Brand Culture...
Meskipun dokumen ini masih berlabel "draft", tapi gagasan yang diungkap Jonathan E. Schroeder di atas cukup menggelitik. Pertanyaan yang diajukannya mengenai bagaimana kita (masyarakat) membaca dan memahami visual, merupakan pertanyaan yang penting tapi terabaikan.
Membaca visual bahkan tak pernah diajarkan di sekolah. Padahal anak ketika memulai berkomunikasi, menggunakan visual sebagai medium. Mereka belajar menggambar secara alami, sebelum belajar menulis. Cara mereka menggunakan gambar sebagai bahasa, anehnya tiba-tiba lenyap ketika memasuki usia dewasa. Dunia orang dewasa telah membuat aturan baru terhadap bagaimana gambar direpresentasikan dan dikonsumsi oleh masyarakat.
Visual, ketika digunakan untuk kepentingan brand, bisa bermakna jauh melebihi apa yang tampak di depan mata. Visualisasi iklan-iklan rokok misalnya, karena memiliki banyak keterbatasan karena aturan, menciptakan citra yang sama sekali keluar dari domain produk rokok. Citra jantan, koboi, setia kawan, tiba-tiba menjadi citra yang merepresentasikan brand produk rokok. Asosiasi antara produk dan citra ini diciptakan sedemikian rupa melalui tampilan visual yang menawan.
Dalam kasus Jonathan E. Schroeder di atas, sebuah iklan minuman menampilkan visualisasi yang unik. Produk minuman yang menjadi obyek utamanya, dibuat seolah-olah menjadi sumber kejantanan si pria. Ternyata, untuk menjadi jantan Anda hanya perlu memesan minuman yang tepat.
Memahami cerita dalam iklan yang singkat padat ini tentu butuh kemampuan literasi visual yang baik. Sebagian orang mungkin tidak mampu menangkap maksudnya, hanya dari visualnya, karena sebagian informasi penting juga terdapat pada teks-nya.
Tampil 'jantan' de depan wanita pujaan, merupakan impian semua pria normal. Dari masa ke masa, nilai tentang 'kejantanan' bisa diubah-ubah sesuai pesanan brand yang ingin tampil dalam wacana itu. Produknya bisa apa saja, mulai dari sabun mandi, alat cukur, minuman keras, hingga rokok.
Inilah kelebihan visual plus teks, yang dimainkan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan pesan yang mengandung nilai sesuai selera budaya pop yang sedang berkembang. Contoh di atas mungkin lebih banyak mengangkat maskulinisme, Anda akan temukan lebih banyak lagi brand yang mengusik feminimisme melalui visualisasi iklan yang juga tak kalah menawan.
*Baca paper lengkapnya di sini: http://www.yorku.ca/dzwick/CMC_Mirrors.pdf
Meskipun dokumen ini masih berlabel "draft", tapi gagasan yang diungkap Jonathan E. Schroeder di atas cukup menggelitik. Pertanyaan yang diajukannya mengenai bagaimana kita (masyarakat) membaca dan memahami visual, merupakan pertanyaan yang penting tapi terabaikan.
Membaca visual bahkan tak pernah diajarkan di sekolah. Padahal anak ketika memulai berkomunikasi, menggunakan visual sebagai medium. Mereka belajar menggambar secara alami, sebelum belajar menulis. Cara mereka menggunakan gambar sebagai bahasa, anehnya tiba-tiba lenyap ketika memasuki usia dewasa. Dunia orang dewasa telah membuat aturan baru terhadap bagaimana gambar direpresentasikan dan dikonsumsi oleh masyarakat.
Visual, ketika digunakan untuk kepentingan brand, bisa bermakna jauh melebihi apa yang tampak di depan mata. Visualisasi iklan-iklan rokok misalnya, karena memiliki banyak keterbatasan karena aturan, menciptakan citra yang sama sekali keluar dari domain produk rokok. Citra jantan, koboi, setia kawan, tiba-tiba menjadi citra yang merepresentasikan brand produk rokok. Asosiasi antara produk dan citra ini diciptakan sedemikian rupa melalui tampilan visual yang menawan.
Dalam kasus Jonathan E. Schroeder di atas, sebuah iklan minuman menampilkan visualisasi yang unik. Produk minuman yang menjadi obyek utamanya, dibuat seolah-olah menjadi sumber kejantanan si pria. Ternyata, untuk menjadi jantan Anda hanya perlu memesan minuman yang tepat.
Memahami cerita dalam iklan yang singkat padat ini tentu butuh kemampuan literasi visual yang baik. Sebagian orang mungkin tidak mampu menangkap maksudnya, hanya dari visualnya, karena sebagian informasi penting juga terdapat pada teks-nya.
“She was impressed that he ordered their Mudslides with Coloma. Which did wonders for his self-confidence...”Minuman yang dipesan, mencitrakan "dirinya" sebagai minuman yang melambangkan selera si pemesan/peminum. Kalau Anda pesan susu, mungkin Anda adalah seorang yang peduli kesehatan. Kalau Anda pesan 'bandrek', mungkin Anda adalah seorang yang cinta tradisi. Kalau Anda pesan minuman yang diiklankan di atas, maka Anda adalah seorang yang "jantan". Visualisasi iklan ini, mencoba membangun 'budaya pop' baru, dengan membuat asosiasi terhadap gaya hidup seseorang dengan jenis minuman yang dipilihnya.
Tampil 'jantan' de depan wanita pujaan, merupakan impian semua pria normal. Dari masa ke masa, nilai tentang 'kejantanan' bisa diubah-ubah sesuai pesanan brand yang ingin tampil dalam wacana itu. Produknya bisa apa saja, mulai dari sabun mandi, alat cukur, minuman keras, hingga rokok.
Inilah kelebihan visual plus teks, yang dimainkan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan pesan yang mengandung nilai sesuai selera budaya pop yang sedang berkembang. Contoh di atas mungkin lebih banyak mengangkat maskulinisme, Anda akan temukan lebih banyak lagi brand yang mengusik feminimisme melalui visualisasi iklan yang juga tak kalah menawan.
*Baca paper lengkapnya di sini: http://www.yorku.ca/dzwick/CMC_Mirrors.pdf