Jakarta, Kompas - Terhitung mulai 1 Mei 2007, pemerintah melarang pemasangan iklan untuk media televisi di Indonesia yang berasal dari pengusaha, bintang iklan, dan bermuatan asing. Kapitalisasi industri periklanan televisi di Indonesia yang mencapai Rp 40 triliun per tahun kini dikuasai pengusaha asing.
"Malaysia sudah melakukan perlindungan sejak lama, sehingga mereka mampu mengembangkan industri periklanan dalam negerinya," ujar Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil usai menghadiri Rapat Koordinasi yang dipimpin Menko Perekonomian Boediono di Jakarta, Senin (30/4).
Menurut Sofyan, pertumbuhan industri periklanan televisi mencapai sekitar 20 persen per tahun. Dengan demikian, industri dalam negeri perlu mendapatkan dukungan agar dapat menikmati keuntungan tersebut.
"Pada intinya kami ingin agar seluruh iklan televisi sedapat mungkin dibuat di dalam negeri. Ini hanya khusus untuk iklan televisi, sedangkan iklan di media cetak masih diperbolehkan dari asing," ujarnya.
Dengan adanya larangan tersebut, iklan televisi yang ditayangkan di dalam negeri harus dikerjakan orang Indonesia, berlokasi, bintang iklan, dan disutradarai orang Indonesia. Setiap pemasang iklan harus memberikan pernyataan bahwa iklan tersebut telah memenuhi standar, yakni mengandung unsur dalam negeri. Surat pernyataan itu merupakan mekanisme kontrol yang dilakukan pemerintah atas semua iklan.
"Sasaran kami bukan pada biro iklannya, tetapi pada pembuat materi iklannya. Materinya harus menggunakan sumber daya dalam negeri. Jika ketentuan itu tidak dipenuhi, sebagai sanksinya iklan tersebut tidak boleh ditayangkan di Indonesia," katanya.
Pemerintah memberikan batas waktu 6 bulan hingga 1 tahun untuk iklan televisi yang tetap mengggunakan materi asing untuk mengubahnya ke kandungan lokal.
Larangan tidak berlaku untuk iklan yang menggunakan bintang asing sebagai ikon. Misalnya, pegolf dunia Tiger Wood yang menjadi ikon dalam iklan produk jam tangan atau iklan pariwisata asing yang memang harus mengambil gambar dari tempat aslinya. Akan tetapi, bagi produk asli Indonesia yang menggunakan kandungan asing dipastikan tidak diperbolehkan tayang di dalam negeri.
"Misalnya, produk rokok yang dibuat di dalam negeri, tidak boleh menggunakan rumah produksi asing. Kecuali iklan rokok Marlboro, yang menggunakan cowboy sebagai ikon, memang tidak ada penggantinya, sehingga bisa tetap menggunakan materi iklan dari luar negeri," ujar Sofyan.
Daftar negatif
Larangan iklan asing tersebut diterbitkan seiring usulan Kementerian Kominfo tentang sektor usaha di bidang pertelekomunikasian yang masuk dalam daftar negatif investasi. Subsektor usaha jasa titipan kilat diusulkan tertutup bagi penanam modal asing. Untuk media cetak tertutup bagi penanam modal asing kecuali melalui pasar modal.
Disamping itu ada subsektor telekomunikasi lainnya yang terbuka bagi investor asing, namun harus bekerja sama dengan penanam modal lokal, yakni layanan panggilan dan pesan singkat premium, televisi, dan jasa satelit.
"Panggilan dan pesan singkat premium mayoritas harus investor lokal. Untuk televisi, asing bisa menguasai 20 persen dari kepemilikan saham, sedangkan jasa satelit asing bisa mencapai 65 persen," kata Sofyan.
Sementara itu, Menko Perekonomian Boediono mengatakan, penyelesaian daftar negatif investasi itu masih menunggu beberapa kali pembahasan lagi. "Untuk saat ini, saya belum bisa menyampaikan isinya. Tunggu saja nanti," ujarnya. (OIN)
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/01/ekonomi/3492795.htm [deadlink]
"Malaysia sudah melakukan perlindungan sejak lama, sehingga mereka mampu mengembangkan industri periklanan dalam negerinya," ujar Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil usai menghadiri Rapat Koordinasi yang dipimpin Menko Perekonomian Boediono di Jakarta, Senin (30/4).
Menurut Sofyan, pertumbuhan industri periklanan televisi mencapai sekitar 20 persen per tahun. Dengan demikian, industri dalam negeri perlu mendapatkan dukungan agar dapat menikmati keuntungan tersebut.
"Pada intinya kami ingin agar seluruh iklan televisi sedapat mungkin dibuat di dalam negeri. Ini hanya khusus untuk iklan televisi, sedangkan iklan di media cetak masih diperbolehkan dari asing," ujarnya.
Dengan adanya larangan tersebut, iklan televisi yang ditayangkan di dalam negeri harus dikerjakan orang Indonesia, berlokasi, bintang iklan, dan disutradarai orang Indonesia. Setiap pemasang iklan harus memberikan pernyataan bahwa iklan tersebut telah memenuhi standar, yakni mengandung unsur dalam negeri. Surat pernyataan itu merupakan mekanisme kontrol yang dilakukan pemerintah atas semua iklan.
"Sasaran kami bukan pada biro iklannya, tetapi pada pembuat materi iklannya. Materinya harus menggunakan sumber daya dalam negeri. Jika ketentuan itu tidak dipenuhi, sebagai sanksinya iklan tersebut tidak boleh ditayangkan di Indonesia," katanya.
Pemerintah memberikan batas waktu 6 bulan hingga 1 tahun untuk iklan televisi yang tetap mengggunakan materi asing untuk mengubahnya ke kandungan lokal.
Larangan tidak berlaku untuk iklan yang menggunakan bintang asing sebagai ikon. Misalnya, pegolf dunia Tiger Wood yang menjadi ikon dalam iklan produk jam tangan atau iklan pariwisata asing yang memang harus mengambil gambar dari tempat aslinya. Akan tetapi, bagi produk asli Indonesia yang menggunakan kandungan asing dipastikan tidak diperbolehkan tayang di dalam negeri.
"Misalnya, produk rokok yang dibuat di dalam negeri, tidak boleh menggunakan rumah produksi asing. Kecuali iklan rokok Marlboro, yang menggunakan cowboy sebagai ikon, memang tidak ada penggantinya, sehingga bisa tetap menggunakan materi iklan dari luar negeri," ujar Sofyan.
Daftar negatif
Larangan iklan asing tersebut diterbitkan seiring usulan Kementerian Kominfo tentang sektor usaha di bidang pertelekomunikasian yang masuk dalam daftar negatif investasi. Subsektor usaha jasa titipan kilat diusulkan tertutup bagi penanam modal asing. Untuk media cetak tertutup bagi penanam modal asing kecuali melalui pasar modal.
Disamping itu ada subsektor telekomunikasi lainnya yang terbuka bagi investor asing, namun harus bekerja sama dengan penanam modal lokal, yakni layanan panggilan dan pesan singkat premium, televisi, dan jasa satelit.
"Panggilan dan pesan singkat premium mayoritas harus investor lokal. Untuk televisi, asing bisa menguasai 20 persen dari kepemilikan saham, sedangkan jasa satelit asing bisa mencapai 65 persen," kata Sofyan.
Sementara itu, Menko Perekonomian Boediono mengatakan, penyelesaian daftar negatif investasi itu masih menunggu beberapa kali pembahasan lagi. "Untuk saat ini, saya belum bisa menyampaikan isinya. Tunggu saja nanti," ujarnya. (OIN)
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/01/ekonomi/3492795.htm [deadlink]