Lihatlah iklan televisi lem Fevicol kreasi biro iklan Ogilvy & Mather Mumbai. Iklan memperlihatkan sebuah bis tua padat penumpang melaju tertatih-tatih di jalan pedesaan yang jelek berdebu. Diiringi musik tradisi India, terlihat para penumpang yang memenuhi atap dan bergelantungan di sekeliling bis terguncang-guncang, namun semuanya tampak seperti menempel dengan kuat pada badan bis. Di akhir iklan, nama produk ditampilkan sebagai panel di bagian belakang bis, menyatu dengan keseluruhan iklan. Tak ada presentasi merek secara khusus. Tak ada teks, narasi, atau voice over.
Atau salah satu iklan cetak yang dipamerkan. Sebuah foto memanjang bergambar kotak kardus warna cokelat berlabel FedEx yang terbuka bagian atasnya. Di dalam kotak tersebut terdapat sebuah kotak lain berwarna putih dengan ukuran sedikit lebih kecil. Karena kita sudah terlatih dengan bahasa-bahasa simbol, merek, dan sejenisnya, tak sulit untuk memahami bahwa kotak putih di dalam itu berlabel DHL, pesaing utama FedEx.
Itulah iklan cetak FedEx buatan biro iklan BBDO Bangkok yang memenangkan sejumlah penghargaan dalam berbagai festival periklanan internasional. Ya, cuma begitu saja iklannya. Tidak ada sepotong kata pun, juga tanpa logo dan slogan sebagai penanda merek. Meskipun begitu, sebagai penyampai pesan sekaligus pembentuk citra, iklan itu sangat powerful, mampu berbicara lebih dari sejuta kata.
Selamat datang di dunia citra! Di dalam dunia seperti ini, apa boleh buat, image atau citra adalah segalanya. Orang membeli produk atau jasa lebih karena citranya, bukan semata manfaatnya. Realita Volvo secara teknis lebih secure dibanding BMW atau Mercedes, misalnya, memang penting tapi lebih sering tidak mempengaruhi pola konsumsi orang. Konsumen tetap lebih bergairah memburu BMW dan Mercedes paling gres karena citra kedua merek itu nyata-nyata lebih mengkilap dan fit dengan kebutuhannya.
Keliru kalau kita mengira mantra itu hanya berlaku di pasar konsumsi. Periklanan berikut budaya kontemporer yang mengelilinginya diam-diam telah meracuni dan mengacaukan hidup kita. Realita dan citra sudah bercampur baur. Realita adalah citra. Citra adalah realita. Fenomena itu kerap juga disebut virtual reality, realitas maya.
Suka atau tidak suka, gejala itu berlangsung di mana-mana, sampai menyusup ke pelosok-pelosok negeri melalui berbagai saluran komunikasi dan distribusi, terutama televisi dan periklanan. Tidak seperti zaman nenek kita, bahkan pernikahan kini juga sering berlangsung dalam "kekacauan persepsi" seperti itu. Barangkali itu sebabnya perselingkuhan dan perceraian kini semakin menjadi kejadian biasa.
Untuk menjadi orang baik sekarang kita tidak cukup berbuat baik saja, melainkan juga harus bisa membangun citra bahwa kita orang baik. Keduanya -- realita dan citra -- mesti seimbang. Kalau kita orang baik dan citra diri kita jelek, mungkin kita masuk surga tapi hidup kita pasti penuh stres. Sebaliknya, kalau kita bukan orang baik dan ngotot membangun citra baik, tinggal menunggu kedok terbuka. Dan, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.
Apa pun pendapat para pendukung setianya tentang Presiden Megawati, kebanyakan kita barangkali setuju citra presiden saat ini relatif buruk dan tidak bisa diandalkan. Lebih jelek lagi, karena sama sekali tidak dikelola, citranya semakin hari akan semakin memburuk. Satu-satunya cara untuk "menyelamatkan" presiden saat ini adalah dengan memperbaiki citranya.
Presiden Megawati adalah produk sekaligus brand. Ia bukan cuma perlu bekerja baik mengurus negara, tetapi juga membutuhkan citra yang bagus untuk mempertahankan eksistensi dan keunggulannya. Brand image. Karena, sekali lagi, kita hidup dalam realitas maya.
Jika realita cerewet, mendetail, dan seringkali kompleks, maka citra adalah simplifikasi, cenderung fokus, single minded. Dalam paradigma pemasaran dan periklanan kontemporer, realita merepresentasikan atribut produk atau jasa, sementara citra lebih memproyeksikan value dari brand, merek.
Karena itu, di tengah pasar yang semakin riuh dan informasi yang terus membanjir seperti air bah, membangun citra melalui periklanan -- dan komunikasi pemasaran pada umumnya -- menjadi keniscayaan. Kit Kat adalah wafer bersalut cokelat yang renyah. Tapi ada berapa juta produk semacam itu dijual orang di seluruh dunia? Mengapa kita harus memilih Kit Kat dan bukan merek lain?
Salah satu iklan cetak Kit Kat karya biro iklan Lowe Bangkok memperlihatkan dua toples kecil yang masing-masing berisi seekor cupang, ikan aduan yang ganas, diletakkan berdampingan di atas kloset kamar mandi. Di antara kedua toples itu disisipkan kertas pembungkus Kit Kat sebagai pemisah agar kedua cupang itu tidak saling memandang dan 'berkelahi'. Di pojok kanan bawah terdapat tulisan Have a Break. Kit Kat adalah camilan yang asyik dinikmati pada saat break, jeda.
Begitulah, iklan-iklan yang dipamerkan dalam pameran ini (iklan televisi diputar secara khusus dua kali setiap hari) umumnya sudah tidak lagi berjualan langsung, tetapi lebih banyak bekerja sebagai pembentuk citra. Di sini 'komoditas' yang diciptakan, dipelihara, dan diperjualbelikan bukan lagi produk atau jasa, melainkan brand, merek.
Tak mengherankan karena ini adalah iklan-iklan pemenang Asia Pasific Advertising Festival periode 1998-2002. AP AdFest -- begitu festival ini biasa disebut -- merupakan ajang lomba periklanan paling bergengsi yang menjadi barometer kreativitas iklan-iklan di kawasan Asia Pasifik. Iklan-iklan yang memperoleh penghargaan AP AdFest hampir bisa dipastikan juga lolos seleksi di berbagai festival bergengsi berskala internasional.
Sayang, banyak materi pameran, terutama iklan cetak, yang cacat atau rusak. Banyak di antaranya bahkan tidak bisa dipamerkan karena tingkat kerusakannya sudah parah. "Kami menerima materi dari KPI sudah begini. Ironis memang, sebagai orang iklan kita kok seperti tidak menghargai iklan," jelas Enin Supriyanto, creative director Satucitra Advertising yang juga anggota Dewan Kurator BBJ.
Apapun, tetap menarik menyaksikan pameran ini. Di tengah gempuran iklan-iklan kita yang umumnya ceriwis menjelas-jelaskan keunggulan produk dan terkesan mau berjualan belaka, iklan-iklan yang dalam pengantar pameran disebut 'iklan-iklan dari era merek' ini bak oase. Kita seolah menemukan kembali kepercayaan bahwa periklanan adalah persoalan serius. Iklan, kita makin yakin, adalah produk 'intelektual' sekaligus karya 'seni' yang bernilai -- keduanya harus selalu dalam tanda kutip supaya tidak diprotes para intelektual dan seniman sungguhan.
Come to where the flavor is .... Apa yang muncul di benak kita mendengar ucapan itu? Ingatlah tiga "ideologi" utama budaya massa. Pertama, citra. Kedua, citra. Ketiga, citra.
(Totot Indrarto, praktisi periklanan)