DKV UNPAS Bandung: Iklan, Mencerdaskan atau Membodohi Masyarakat?

Arakanlebah, Komunitas DKV UNPAS Bandung

Iklan, Mencerdaskan atau Membodohi Masyarakat?

at 9/11/2004 , View Comments

KESEPAKATAN mutlak memang tidak selalu bisa disepakati oleh semua orang. Seperti juga iklan yang merupakan salah satu bentuk komunikasi, standar perbaikannya selalu berubah-ubah seiring dengan perkembangan zaman.

"Realitas itu juga persepsi yang diuji dan diuji lagi. Inilah realitas hidup," kata psikolog dan budayawan Darmanto Jatman. Kreativitas yang dimiliki para pembuat iklan dan teknologi yang digunakannya memang semakin maju, membuat hasrat konsumtif masyarakat semakin tinggi.
Darmanto mengatakan, orang akan menemukan nilai-nilai artistik yang tinggi dalam iklan, yaitu sensual, sensasional, spektakuler, dan glamor seperti produk-produk Hollywood.

Para pengamat boleh jadi setuju bahwa dari segi artistik, bidang periklanan sudah begitu canggih. Seperti yang dikatakan Darmanto, "Dulu, iklan belum seartistik seperti sekarang. Mungkin sudah menarik perhatian dan membuat orang punya hasrat mencoba, namun jelas belum punya capaian-capaian keindahan yang membuat orang terkagum-kagum."

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan kesantunan dalam beriklan. Kalimat-kalimat yang menuding bahwa iklan merusak perilaku konsumen, bukan merupakan budaya, tidak memberi pencerahan kepada konsumen, dan membodohi masyarakat acap kali terdengar.
PERNYATAAN tersebut berusaha ditanggapi dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) VIII Persatuan Perusahaan Iklan Indonesia (PPPI) yang berlangsung tanggal 8-10 September 2004 di Bandung.

Para pembicara yang diberi kepercayaan untuk memberikan tanggapan adalah budayawan Harry Roesli, anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir, pengamat periklanan Dana Iswara, serta psikolog dan budayawan Darmanto Jatman.

Dari sudut pandang seorang psikolog, Darmanto mengakui bahwa cara rumah produksi beriklan sudah semakin cerdas dengan menciptakan dunia tersendiri lengkap dengan maknanya. Dalam sebuah iklan rokok dengan gambar teko seng, misalnya, dicantumkan tulisan "jangan harap yang keluar susu bila yang dimasukkan kopi".

Hubungan antara teks dan produk yang diiklankan memang tidak ada, tetapi melalui terjemahan bebas, kata-kata itu sungguh pas bila dikaitkan dengan kampanye pemilu presiden seperti sekarang.
Ketika cara berpikir pembuat iklan menjadi semakin independen dan mengembangkan diri jauh dari persepsi masyarakat secara umum, seharusnya muncul gerakan untuk kembali memenuhi kebutuhan dasar konsumen. (J15)

Sumber: Kompas, 11 September 2004 - Nusantara | http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/11/daerah/1261966.htm [deadlink]
blog comments powered by Disqus