DKV UNPAS Bandung: There is No Spoon: Pendidikan Desain Grafis

Arakanlebah, Komunitas DKV UNPAS Bandung

There is No Spoon: Pendidikan Desain Grafis

at 2/12/2010 View Comments


Ini bukan tentang The Matrix, film favorit saya. Ini tentang pendidikan desain grafis. Tapi kalau Anda baru saja menyaksikan potongan film The Matrix yang saya embed dari Youtube, Anda tidak salah lihat. Tidak ada yang salah dengan mata Anda.

Artikel ini sebenarnya mau bicara tentang gagasan pendidikan desain yang ditulis oleh Warren Lehrer, dalam kumpulan artikel di buku Education of A Graphic Designer yang diedit oleh Steven Heller. Buku ini diterbitkan oleh Allworth Press New York, dan School of Visual Arts.

Judul artikelnya, kebetulan berkaitan dengan sendok, atau spoon, yang langsung mengingatkan saya pada adegan dalam film The Matrix di atas. Judul artikel itu aslinya adalah Emptying the Spoon, Enlarging the Plate: Some Thoughts on Graphic Design Education.

Lehler membuka artikelnya dengan komentar tentang seorang pengajar:
What makes a great teacher? The best teacher I ever had never really taught me very much. He was curious about me. He challenged me. He believed in me.
Seorang guru yang baik, adalah mereka yang tidak terlalu banyak menggurui, tetapi selalu merasa penasaran dengan kemampuan si murid, dan memberi tantangan kepadanya, karena ia percaya si murid pasti bisa melakukannya.

Lehrer kemudian membandingkan, apa yang terjadi dengan pendidikan seni murni, dan pendidikan dalam desain. Dikisahkannya, betapa pendidikan seni murni, diawali oleh gerakan Renaissance yang percaya pada individual genius artist, berupaya menciptakan seniman yang bekerja menyendiri dalam sebuah studio, setelah mengokohkan dasar-dasar kesenirupaan dari seorang master, dan menjadi bagian dari kelas sosial tertinggi dalam masyarakat. Kisah ini terdengar sangat mirip dengan film-film kungfu jaman Jackie Chan masih piyik.

Kemudian, di era sekarang, para seniman-seniman muda yang sedang berjuang agar bisa eksis, di sekolah diajarkan tentang alat, teknik, dan metodologi, kemudian diberi ruang sendiri untuk mematangkan kemampuan berekspresinya melalui medium rupa.

Tetapi baik dulu maupun sekarang, menurut Lehrer, tidak mampu mengajarkan kemampuan mengenali masalah dan menyelesaikannya secara kritis, begaimana mengelaborasinya, dan mempertanyakan peran seni dalam kehidupan sehari-hari. Dewasa ini standar pengajaran desain sangat mengacu dan berkembang dari rumus bahwa artisan melayani kehendak dan menjawab kebutuhan klien. Sebuah kisah nyata tentang cara kerja korporasi.

Pada pendidikan desain, sang guru berperan selayaknya klien, memberi para murid segepok proyek desain di sepanjang karir kependidikan desain mereka. Prestasi dan tingkatan pencapaian mereka, kemudian dengan manis berbuah gaji yang besar, atau penghargaan di panggung festival. Seringkali, ketika murid berada pada tahap penyelesaian studi tingkat sarjana, atau paska sarjana, para pengajar desain ini mulai frustasi dengan kemampun sang murid dalam mendefinisikan proyek penelitian mereka sendiri. Sang pengajar, sebut saja dosen. Dan sang murid, tak lain adalah para mahasiswa itu.

Apakah ini sesuatu yang mengherankan? Seharusnya tidak. Karena terbiasa (baca: dibiasakan) berpikir untuk kepentingan klien, maka mahasiswa kemudian tak mampu menciptakan visinya sendiri. Padahal faktanya, desain grafis terbentuk di awal abad ke-20, tak terlepas dari revolusi seni, sastra, kebudayaan, sains, dan gerakan politik. Ia bahkan berkembang menjadi praktek seni profesional, dengan inspirasi mengubah dunia ini menjadi lebih baik.

Terpengaruh oleh kebanggaan mengajar desain seperti layaknya jaman para seniman di era keemasan itu, pendidikan desain kini justru terjebak dalam kesempitan cara berpikir layanan korporasi, to serve and satisfies. Pertanyaannya kemudian,

Do I teach design? Or do I teach human beings?
Am I a teacher of individuals aspiring to excel in design, make beautiful, hip work, and live a nice comfortable life? Am I a teacher who should help students discover a path to a life’s work filled with meaning, exploration, and purpose? Am I a teacher in the service of training designers to create a better world? Or am I a teacher in the service of training a highly competent and employable workforce?

Desain grafis, berkembang kian pesat dan tidak lagi berkutat di dunia dua dimensi, tetapi kini sudah mencakup tiga dimensi, bahkan mulai merambah dimensi keempat, gerak dan interaktifitas. Pendidikan desain sekarang harusnya mulai kembali memasukkan unsur teori, konteks dimana sejarahnya desain memang merupakan bagian dari perkembangan kebudayaan, teknologi, dan konteks politik. Desain tidak bisa dibatasi hanya pada ukuran-ukuran ekonomis, yang menggunakan premis bahwa seorang desainer grafis hanyalah yang bertangan terampil yang siap pakai di industri.

Lalu apa jawaban Lehrer terhadap kritiknya di atas? Lehrer menyingkatnya dengan Expanding the Parameters of Design Practice. Coba bandingkan dengan seorang filmmaker, atau seorang music composer. Mereka adalah profesional, yang dalam bekerja pasti melibatkan pihak lain, atau terkadang mereka bekerja dengan pihak lain sebagai kolaborator. Filmmaker bisa membuat iklan tv, film cerita, atau dokumenter untuk orang lain. Tetapi mereka juga terkadang membuat filmnya sendiri sebagai bahan eksplorasi, dan pengembangan dunia perfilman itu sendiri.

Begitupun seorang music composer, ia bisa bekerja sendiri menciptakan karyanya, tetapi terkadang ia juga bekerja untuk jingle iklan, atau menggubah komposisi musik untuk lirik yang dibuat seorang penulis lagu.

Seorang desainer grafis, harus lebih sering bergaul dengan mereka yang bukan dari lingkup pendidikan seni, dan meluaskan cakrawala berpikir, dan berkarya. Ia memang seringkali membuat karya untuk klien, tetapi kolaborasi dengan keilmuan lain bisa memberi inspirasi tentang bagaimana desain grafis berkembang dan meningkatkan kualitas hidup bersama. Eksplorasi tentang bagaimana dunia grafis berperan dalam kehidupan sehari-hari, juga merupakan tanggung jawab desainer grafis.
At a time when the interplay of visual signs, icons, words, and images— design—is playing a vitally important role in shaping culture and affecting the future of the planet, who should be entrusted with the tools, responsibility, power, voicethat design now enjoys? Stylists? Functionaries? Technicians? Truth-tellers? Poets? Activists? Inventors? Visionaries? Change agents? Renaissance persons? Informed citizens?
Ini yang dimaksud Lehrer dalam atikelnya, Emptying the Spoon, Enlarging the Plate. Dalam buku itu ditulisnya beberapa gagasan yang pernah dilakukannya sendiri, dalam rangka memperluas cakrawala desain grafis, dalam pengajaran desain di kelasnya. Wahren Lehrer sendiri, adalah seorang writer/ performer/ book designer yang sedang mengerjakan proyek mengenai "visual literature," atau sastra visual. Ia adalah juga seorang profesor di SUNY Purchase.

Ia juga menambahkan beberapa gagasan yang perlu dilakukan para dosen di pendidikan desain. Berikut adalah beberapa gagasan yang diusulkannya:
  • Provide opportunities for students, at almost all levels, to develop their own voice.  Lakukan latihan-latihan paling mendasar, hindari menyuapi mahasiswa dengan elemen visual yang telah disediakan. Bahkan seorang mahasiswa yang baru lulus dan mahasiswa tingkat dua dapat melatihkan mahasiswa baru untuk menyusun gambar yang telah disediakan seperti potongan gambar, ikon, dan huruf.
  • Whenever possible, allow each student to select his own subject matter. Dua puluh mahasiswa yang mengerjakan proyek yang sama, akan menghasilkan keseragaman. Dalam kelas merancang identitas, setiap mahasiswa dapat diminta untuk mengeluarkan idenya sendiri —sesuatu yang menurutnya harus ada di muka bumi. Paksa mereka untuk berpikir untuk dirinya sendiri, mahasiswa mencari apa yang menarik perhatian mereka, dan temukan organisasi yang mereka impikan. Mahasiswa melakukan penelitian untuk memvalidasi keunikan organisasi yang dijadikannya kasus, dan melalui penulisan serta pemetaan pikiran (mind mapping), mereka menggali nama yang pas. Setiap mahasiswa kemudian diminta membuat identitas beserta kelengkapannya. 
  • In an advanced typography class focusing on text typography, require each student to write and design his or herown textbook, instead of requiring a single textbook. Ada baiknya membuat buku untuk belajar tentang tipografi kelas lanjut. Hal ini akan membantu mahasiswa memahami tipografi lebih baik, bukan saja tentang jenis huruf yang baik, tetapi juga dalam hal menyusunnya dalam komposisi yang baik.
  • In a motion graphics or animated type class, each student can design a film title sequence for a preexisting film, or a nonexistent film based on an existing book, or a film that he or she might one day want to make.  Untuk kelas animasi atau motion graphics, mahasiswa bisa diminta untuk membuat ulang bumper atau animasi judul film atau buku yang menurutnya menarik. Mahasiswa tidak hanya akan memilih topiknya sendiri, tetapi juga belajar menginterpretasi, mengadaptasi, atau membuat sesuatu yang sama sekali baru.
  • In an introductory Web design class, students are asked to design a site based on a collection. Setelah mempelajari dasar-dasar mendesain web, mahasiswa bisa diminta membuat desain sebuah web untuk membuat koleksi. Koleksi apa saja, termasuk koleksi yang bisa ia tentukan temanya, dan bisa mengundang pemirsa untuk membantu menyumbangkan koleksinya (User Generated Content).
  • In courses that require more than one big project, try to include a final independent project whenever possible. Di bawah konsultasi dengan dosen, mahasiswa diberi kesempatan membuat proyek yang dibatasi oleh waktu dan pendanaan. Ini akan mengajadi mereka tentang kemampuan kewirausahaan dalam desain (grafis).
  • Giving students more room to rely on themselves does not merely foster self-expression. Penelitian dan penulisan adalan bagian yang integral dalam proses desain. Tapi, jangan menyepelekan pentingnya memanfaatkan apa yang mereka asudah tahu, budaya yang mereka kenal, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. 
  • Emphasize the importance of image making as much as typography. Kenalkan mahasiswa sedini mungkin tentang berbagai macam teknik menggambar. Ini bisa membantu mereka menemukan ciri khas mereka. Dorong mereka untuk mempelajari fotografi dan video. Tekankan pentingnya melihat dari berbagai perspektif/sudut pandang dan melakukan apa saja untuk mencapainya -- termasuk memanjat pohon, atap rumah, atau merayap di jalanan.
  • Whenever possible, I begin classes by wiping the slate clean of preestablished rules. Dari pada langsung mengenalkan mereka pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mulailah dengan sesuatu yang baru dan "segar". Kaji segala kemungkinan mulai dari nol, biarkan mereka belajar dari kesalahan yang dilakukannya saat berproses/berkegiatan. Kesimpulan yang diambil dari pengalaman sendiri akan lebih kuat dari pada sekadar diceramahkan.
blog comments powered by Disqus