DKV UNPAS Bandung: Lagi, Tentang Etika Periklanan (1)

Arakanlebah, Komunitas DKV UNPAS Bandung

Lagi, Tentang Etika Periklanan (1)

at 6/18/2009 , , View Comments

Pengantar

Seorang member di milis CCI membuat polling tentang Iklan Penyedia Jasa Telekomunikasi. Meskipun polling ini sangat terbatas, hanya untuk member milis, tapi ulasannya sangat menginspirasi. Atas ijin empunya, saya pos di blog ini tulisannya, juga salah satu ulasan yang mengomentarinya.


Isinya kurang lebih menyangkut etika periklanan, yang beberapa kali memang jadi bahasan menarik di milis, dan beberapa kali pula di posting di blog ini. Sudah banyak kegelisahan mengenai etika periklanan, yang mungkin cuma lewat telinga kiri, lalu mental keluar lagi (boro-boro masuk ke kepala dan keluar lagi lewat telinga kanan... :D).


Beberapa saat yang lalu saya juga membuat posting di blog probadi saya, mengenai iklan promo Telkom Speedy. Ini hanya salah satu contoh lain menurut saya, dimana iklan terkadang memang 'keluar batas', atau memang dengan sengaja melakukannya karena butuh publisitas. Semakin kontroversial semakin bagus, karena akan mengundang ketertarikan publik. Jadilah perbincangan dimana-mana, dan lalu berharap citranya terangkat.


Debat mengenai Klien adalah Raja, dan seterusnya, seringkali jadi alasan. Maka muncullah tudingan Advertising Agency telah melacurkan profesinya, demi kepuasan klien. Persoalannya tentu bukan sekedar hubungan buruh-majikan, tapi juga menyangkut hal lain, dalam hal ini adalah persoalan etika, baik yang (seharusnya) berlaku di dunia periklanan, maupun etika sosial yang berlaku di masyarakat. Pada tulisan saya yang lain, saya juga membahas masalah ini.

Tapi ada komentar lain yang juga menarik, Anda bisa simak juga dari link di bawah artikel utamanya. Selamat menikmati!

Ulasan hasil Polling Iklan Penyedia Jasa Telekomunikasi Selular


Dear all, Pertama-tama, saya ucapkan banyak terimakasih pada 159 orang anggota milist ini yang telah berpartisipasi. Seperti anda bisa lihat, polling yang ditutup pada tgl. 14 Juni 2009 menampilkan bahwa: 5% percaya pada iklan jasa telekomunikasi selular yang menjanjikan tarif termurah dan 95% tidak percaya pada isi iklan tsb.  Saya akan coba menganalisa hasil polling sederhana ini dari beberapa sudut. 


Pertama, dari sudut pandang etika periklanan (mengacu pada kitab Etika Pariwara Indonesia), jelas bahwa pernyataan "termurah" (suatu bentuk pernyataan superlatif) yang tidak didukung oleh fakta-fakta yang obyektif adalah tidak etis. Hasil polling ini menunjukkan bahwa lebih banyak anggota milist yang mendukung pedoman ini. 


Saya sangat bersyukur bahwa, entah sadar ataupun tidak, masih cukup banyak insan periklanan yang menjunjung etika. Padahal, ada yang bilang, bersikap etis itu sudah jadi barang langka di jaman sekarang. Etika periklanan sering dipandang secara negatif sebagai "pagar-pagar" yang membatasi kreatifitas. Pesan saya: bila anda mengaku insan periklanan tapi tidak peduli terhadap etika periklanan, lebih baik anda berpikir untuk mencari profesi yang lain! Kenapa demikian? 

Etika (untuk profesi atau bidang apapun juga) disusun berdasarkan tata budaya yang ada disuatu bangsa. Etika mengatur hal-hal yang dianggap normatif (diterima/dibenarkan) oleh kebanyakan masyarakat di suatu negara. Ada etika yang bersifat global, ada pula etika yang bersifat lokal. Dengan demikian seharusnya justru etika dipandang dengan sangat positif sebagai suatu panduan untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak akan diterima dengan baik oleh masyarakat (konsumen). Bukankah demikian pula tujuan dari suatu pesan iklan? Sederhananya, bila untuk memproduksi iklan kita harus memperhatikan "consumer insights", maka etika adalah juga "consumer insights" (dari sisi negatifnya, alias apa yang tidak disukai oleh konsumen). 



Kedua, dari sudut ilmu komunikasi periklanan: iklan pada dasarnya (esensinya) adalah suatu janji. Janji antara produsen/penyedia jasa dengan para konsumennya. Hasil polling ini jelas menunjukkan bahwa isi iklan dari penyedia jasa telekomunikasi selular yang menjanjikan tarif termurah ternyata tidak dipercaya oleh para konsumen mereka sendiri. Saya sengaja mengambil kasus iklan produk jasa penyedia telekomunikasi selular karena saya cukup yakin anggota milist ini (yang artinya notabene mempunyai akses internet) 99.99% juga menggunakan jasa telekomunikasi selular sehingga dapat disimpulkan dengan sederhana bahwa anggota milist ini juga adalah konsumen langsung (bahkan mungkin konsumen utama, mengingat usia anggota milist yang saya perkirakan juga rata-rata masih di antara 25- 35 tahun) dari produk ini. 


Masih dari sudut ilmu komunikasi, saya pribadi sangat heran bahwa bila ternyata konsumen sudah tidak percaya lagi dengan klaim-klaim sejenis itu, mengapa ya sampai dengan saat ini masih banyak praktisi periklanan (yg mungkin juga anggota milist ini) masih sering menggunakan klaim superlatif tanpa dukungan fakta yg obyektif? Kasus iklan penyedia jasa telekomunikasi selular dalam polling ini hanyalah satu contoh kecil. Masih banyak iklan dari kategori produk lainnya yang juga menggunakan klaim sejenis. 


Dalam laporan Badan Pengawas Periklanan (BPP) PPPI tahun 2005-2008 tercatat lebih dari 35% pelanggaran dari 346 kasus yang diamati oleh BPP adalah pelanggaran yang berakaitan dengan penggunaan klaim superlatif ini. Apakah anda salah satu yang membuatnya? Mengapa? Mungkin analisa berikut ini bisa menjawab :) 


Ketiga, dari sudut ilmu budaya: Ada beberapa hal yang bisa dibahas dari sudut ini. Pertama, alasan yang paling sering saya dengar bila ada biro iklan yang menggunakan klaim ini (walaupun biro iklan itu sangat sadar bahwa klaim itu berpotensi melanggar EPI) adalah karena "itu permintaan klien". 


Saya merasakan adanya pandangan yang sudah sangat melenceng dari jargon "klien adalah raja" disini. Dalam budaya manapun, raja akan didukung sepenuhnya oleh rakyatnya BILA raja itu memberikan hal-hal yang baik bagi rakyatnya dan tentunya harus mempunyai nilai etika yang tinggi pula. Bagaimana bila rajanya sudah tidak beretika lagi? Apakah kita masih harus dukung? 


Masih dari sudut ilmu budaya, dan yang berikut ini tampaknya lebih mendasar. Bangsa kita mungkin belum lepas dari trauma penjajahan.... padahal kita sudah 65 tahun merdeka... sudah satu generasi lebih lewat. Salah satu dampak dari penjajahan itu adalah hilangnya harga-diri bangsa kita. Seharusnya, setelah merdeka, harga-diri bisa bangkit. Tapi mungkin kepercayaan diri bangsa kita masih sangat rendah. 


Satu sisi mungkin karena masih adanya trauma itu (suatu mekanisme pertahanan diri dimana rasa takut yang kuat dilawan dengan "sok tampil PD"), di sisi lain mungkin karena kita merasakan bahwa memang bangsa ini "tidak punya modal" apapun. Akibatnya, sejak jaman awal kemerdekaan dulu, semua kecap di Indonesia dijual dengan merek Kecap No. 1!! Ternyata gejala "Kecap No. 1" ini sampai sekarang belum juga hilang! 


Dari sudut ilmu bahasa: iklan-iklan superlatif itu secara tidak disadari telah menggerogoti nilai tinggi dari bahasa. Pernyataan superlatif yang seharusnya mendapatkan penghargaan tinggi karena "dialah sang juara pertama, tak ada yang lain yang dapat mengalahkannya" ternyata dipakai dengan semena-mena sehingga runtuh dan tidak dipercaya lagi oleh masyarakat (konsumen). Iklan seharusnya sejalan dengan budaya suatu bangsa dan seharusnya pula memperkaya budaya tersebut…bukan malah menggerogotinya. 


Contoh lain yang cukup sering terjadi (tidak hanya di dunia iklan, tapi juga di bidang jurnalisme dan film), penggunaan kata "presiden, raja, ratu" dan sejenisnya juga telah mengalami proses penurunan makna yang drastis. Bila anda baca di kamus manapun juga, istilah-istilah tsb seharusnya digunakan dalam konotasi yang agung dan sangat positif. Tapi, misalnya, saat ini digunakan untuk jargon "raja copet, ratu korupsi" dsb. Menurut saya, ini bukan kreatifitas berbahasa, tapi lebih merupakan KEMALASAN dalam mencari alternatif berbahasa (ingat, bahasa Indonesia begitu kaya sebenarnya). 


Demikian dulu analisa saya atas hasil polling ini. Saya sadar, tidak semua orang kreatif suka membaca teks sepanjang ini…tapi bila anda telah membacanya sampai baris ini, saya ucapkan selamat dan terimakasih! Semoga berguna. Beberapa hari ke depan, saya akan posting cerita lain yang masih berkaitan dengan kegiatan polling ini, tapi lebih bersifat "side story". Hidup Pariwara Indonesia yang beretika! 


- Ridwan -


=======================================


Komentar dari member lain saya buatkan di post berikutnya, karena disini sudah terlalu panjang.


Photo: Courtesy of http://pramudyaputrautama.wordpress.com/
blog comments powered by Disqus