DKV UNPAS Bandung: Lagi, Tentang Etika Periklanan (2)

Arakanlebah, Komunitas DKV UNPAS Bandung

Lagi, Tentang Etika Periklanan (2)

at 6/18/2009 , , View Comments

Pengantar 

Seorang member di milis CCI membuat polling tentang Iklan Penyedia Jasa Telekomunikasi. Meskipun polling ini sangat terbatas, hanya untuk member milis, tapi ulasannya sangat menginspirasi. Atas ijin empunya, saya pos di blog ini tulisannya, juga salah satu ulasan yang mengomentarinya.

Dalam posting sebelumnya, penulis (Ridwan) mengulas analisa tentang iklan superlatif dari berbagai sudut pandang, mulai dari sisi etika, sampai sisi penggunaan bahasa. 


Berikut adalah komentar member lain terhadap posting Ulasan hasil Polling Iklan Penyedia Jasa Telekomunikasi Selular. Sambungan dari posting sebelumnya.

Menarik sekali, dari polling sederhana 'iseng-iseng' ini saya kira ada hal yang bisa dicerna. Soal sampel survey yg anggota milis di mana 80% mahasiswa dan sisanya praktisi periklanan bisa jadi memang bias. Karena kalau dilihat dari struktur sosial masyarakat, antara mahasiswa periklanan dan praktisi periklanan sebetulnya berada dalam range dan karakteristik yg sama jika itu dijadikan sampel.

Cara pikirnya/nalarnya sama, preferensi minat dan seleranya sama, strata sosialnya sama, yang beda untuk saat ini mungkin cuma masalah isi kantong saja. Bisa jadi akan sangat berbeda dengan yang mungkin menjadi mayoritas TA dari 'perang tarif' iklan-iklan selular yaitu strata bawah masyarakat yang jumlahnya jauh lebih besar daripada mahasiswa periklanan, apalagi orang iklan.

Tapi saya tidak akan memperdebatkan masalah metode pengambilan sampel dan metoda surveynya. Saya teratrik untuk membahas kegalauan Bung Ridwan (yg konon masih kerabat Jend. Sudirman) soal iklan-iklan yg muncul dari 'perang tarif' antar operator. Saya kira masalahnya tidak sesederhana agency nya tidak memiliki 'insight' tersebut. Tak sesederhana juga bahwa agencynya tahu 'insight' tapi tak kuasa menolak permintaan klien yg kemudian membuat Bung Ridwan galau bahwa telah terjadi proses pelacuran.

Saya yakin ada sebuah keyakinan yang lebih besar dari itu dibalik penggelontoran uang triliunan rupiah sepanjang 2008-2009 untuk belanja iklan telco, yg menempatkan telco industri sbg primadona baru setelah rokok, toiletries, dan yang paling anyar politik!

Di Bisnis Indonesia hari ini, menjadi headline utama issue konsolidasi antar operator seluler. Dari 11 operator bagi 161 juta pelanggan dari 227 penduduk Indonesia, pada 2010 akan lebih ideal jika dikelola 4-5 operator. Hal itu terjadi krn 81,3% pangsa pasar dimiliki oleh 3 operator besar: Telkomsel (72jt), Indosat (33jt), XL (25jt). 8 operator lainnya, konon saling sikut memperebutkan 18,7% pangsa alias 33,7 juta pelanggan. Tampaknya seperti issue yang tengah menguat di industri perbankan, akan ada konsolidasi sehingga nantinya hanya akan ada 5-8 bank yang beroperasi di Indonesia.

Konsolidasi adalah sebuah kenyataan yg harus dilakukan walaupun tidak nyaman, demi menyelamatkan eksistensi. Ibarat menelan pil pahit kalau mau sembuh dari penyakit. Ini berlaku buat segala hal, tak terkecuali di arena politik yg lebih populer dengan kata koalisi. Dalam hal konsolidasi, bisa yg lemah/gurem bergabung dengan yg kuat, bisa yg lemah/gurem dalam jumlah banyak saling bergabung sehingga menjadi satu blok kuat. Pertanyaannya, mengapa kondisi di industri telco kok jadi mirip sama perbankan, yg puncaknya pada krisis 1997 dan hingga kini pun belum 100% recovery?

Menurut saya ini berakar pada suatu tingkat ekspektasi bisnis yg optimis berlebihan dan cenderung bullish. Contoh di industri telco, selama 10 tahun saya menyimak (dan pernah jadi CP juga), keyakinan yang diimaninya tetap sama walau menurut saya salah. Hal itu tampak jelas dalam berita di Bisnis Indonesia hari ini yang mengambil bahan dari presentasi salah satu perusahaan telco. Angka 161 juta pelanggan itu diartikan sebagai 72,2% penetrasi penggunaan ponsel di Indonesia, yang diyakini bahwa dari 100 orang Indonesia, sedikitnya 72 orang menggunakan ponsel!

Dengan cara membaca angka seperti ini menjadikan Indonesia pasar yang sangat menarik untuk industri telco dan berbondong-bondong pelaku bisnis dan investor masuk ke industri ini, baik sebagai operator maupun kontraktor infrastruktur. Keyakinan ini makin tahun makin kuat ketika angkanya terus bertambah dari tahun ke tahun. Katanya orang telco itu orang IT, dan katanya orang IT itu orang eksak. Mungkin saking eksaknya sehingga keyakinannya linear seperti itu, tanpa bisa melihat hal-hal atau kemungkinan interpretasi lain dari sebuah angka.

Padahal angka 161 juta itu adalah data pelanggan yang menurut nalar saya diambil dari jumlah kartu perdana yang telah diaktifkan. Padahal saya saja punya 2 nomor yg masih saya gunakan saat ini, pembantu saya saat ini punya 3 nomor aktif, esia, mentari dan xl (mungkin ini korban perang tarif), karyawan di kantor saya rata-rata punya 2 nomor aktif antara CDMA dan GSM. Anggota milis ini saya tebak sebagian besar punya 2 nomor aktif. Itu baru perilaku kepemilikan, bagaimana dengan perilaku penggunaan?

Struktur pelanggan selular kita menurut info terakhir yang saya tahu tahun 2002 tak sampai 30% postpaid dan prosentasenya terus turun dari tahun ke tahun seiring dengan makin populernya pre-paid yg praktis, gak perlu repot. Kebijakan registrasi pre-paid pasca aksi-aksi terorisme, tak menurunkan kepopuleran dan kepraktisan pre-paid. Kalau anda beli nomor perdana pre-paid di manapun hari ini, si penjual dengan suka rela akan meregistrasikannya ke operator, mungkin dengan nama yg itu-itu juga dan pasti lolos di operator.

Tebakan saya hari ini pelanggan postpaid mungkin tinggal 10-15%. Saya sendiri hingga saat ini sudah lebih dari 7 nomor yang saya gunakan sekali saja saat di luar kota dan hanya ada satu atau dua jaringan operator yg bagus sinyalnya entah itu untuk percakapan atau pun lalu lintas data. Supir saya belum setahun bekerja sudah 2 kali ganti nomor hp krn nomornya kadaluwarsa telat isi ulang pulsa. Dan akan masih banyak pengguna lainnya yg melakukan hal itu, terutama masyarakat bawah. Buat mereka fungsi nomor selular hanyalah untuk nelpon bukan untuk membina relasi dan networking.

Dan di jaman perhelatan politik biasanya permintaan kartu perdana pre-paid dan voucher biasanya meningkat pesat untuk berbagai keperluan dan aktivitas kampanye, dari yang bersih sampai yang kotor. Yang saya tahu di tahun 2004 ada sebuah kios di ITC Kuningan yang dalam waktu sebulan menerima order pemesanan 30.000 kartu perdana, padahal biasanya sebulan cuma sanggup menjual 100 kartu perdana. Tampaknya ke-30rb kartu perdana berisi 20 rb pulsa itu cuma untuk sekali pakai krn si pemesan tidak membeli voucher pulsanya juga. Jumlah 20rb untuk keperluan menelpon di tahun 2004 paling cuma bisa mentok 14 menit.

Bisa dibayangkan kan, betapa bullishnya perhitungan bisnis industri telco yang pada akhirnya ketika semua sudah masuk dan kenyataan tak seindah yang dibayangkan, maka yang terjadi persaingan yang ketat dan berbagai cara dilakukan demi menyelamatkan perahu supaya tidak tenggelam atau kalau pun cut lost gak terlalu dalam.

Mungkin ada yg benar-benar pasang tarif murah banget demi untuk 'membunuh' pesaing yg lain. Tentu saja yg bisa melakukan hal ini adalah pemain besar tapi yg tentunya tidak kebesaran beban, supaya sacrificenya tdk kebanyakan yg mengganggu performa bisnis.

Antara analisa di atas kertas dan kenyataan bisa ketemu di sini yaitu Indosat dan XL lah yg paling berpeluang, sebab jika telkomsel menurunkan tarifnya Rp 50 saja, bisa kita hitung berapa besar penurunan pendapatannya krn punya 72jt 'pelanggan'. Laporan keuangan XL 2008 menunjukan penurunan keuntungan dari 2007, padahal belanja iklannya meningkat. Tapi hasilnya bisa kita lihat, peningkatan jumlah 'pelanggan'. Begitu juga dengan AXIS, 'pemain baru' yg bisa langsung menyodok dengan 3,5jt pelanggan. Jumlah 'pelanggan' yang dimiliki inilah tampaknya yang jadi ukuran sexy industri telco, selain ARPU.

Kembali ke kegalauan Bung Ridwan, boro-boro klien minta dibikinin iklan yg kreatif, beretika dan sebagainya, jangka pendek kapal ini harus dibikin sexy atau diselamatkan. Tapi ini cuma penilaian outsider, mungkin rekan-rekan dari agency yg menggarap telco bisa share lebih jauh, biar kita semua lebih paham kondisi sesungguhnya. Terutama menjawab tudingan sebagai pelacur...hehehe...

Cheers,

-iyo-

Photo: Iklan Indosat & XL, courtesy of http://bramrider.wordpress.com
blog comments powered by Disqus