DKV UNPAS Bandung: Pendidikan Desain Komunikasi Visual-Masalah dan Kiat-Kiatnya

Arakanlebah, Komunitas DKV UNPAS Bandung

Artikel Pak Pri yang menarik sekali, tentang Pendidikan DEKAVE. Artikel ini sekaligus mengingatkan kita, bahwa DKV memang lahir dari Ayah yang seniman, tapi dari ibu yang kapitalis. Dunia industri memang bagian tak terlelakkan dari sejarah DKV. Dan ini kemudian mewarnai sistem pendidikannya. Tapi sekarang, sejalan perkembangan dunia komunikasi, ranah komunikasi yang juga melekat dalam jiwa DKV membuatnya lebih fleksibel, tidak saja dalam hal komunikasi bisnis, tapi juga dalam hal komunikasi sosial. Simak saja sebagian artikel berikut ini, dari blog-nya DGI:

Setelah sepuluh tahun masa mengkaji, tahun 2003 program studi DKV-ITB memulai langkah baru program jalur peminatan. Sistem ini membagi perkuliahan dalam tiga tahap: dua semester untuk pendidikan dasar senirupa / foundation year; tiga semester tahap pendidikan dasar komunikasi visual; dan tiga semester terakhir memantapkan diri dalam jalur minat utamanya. Pada tahap awal siswa mendapat pendidikan dasar yang sama bagi seluruh mahasiswa seni rupa. Setelah berada dalam lingkungan DKV, siswa dibekali kemampuan dasar dan wawasan umum yang harus dipunyai oleh ahli komunikasi visual. Pemantapan konseptual ditekankan pada tahap ini. Baru pada tahap berikut mahasiswa dipersilakan memilih jalur minat yang ingin ditempuhnya. Pada tahap ini mahasiswa hanya mendalami salah-satu bidang minat saja. Siswa tetap diberi kesempatan mengambil kuliah pilihan melengkapi keperluan mereka dengan beberapa kulaih terkait di luar jalur pilihannya. Dengan demikian siswa dapat merencanakan sendiri karirnya dan memusatkan perhatian pada kekhususan yang diinginkan. Sementara ini hanya tiga jalur peminatan yang dibuka untuk mewadahi: (1) Komunikasi Grafis, (2) Kreatif Visual Periklanan, (3) Multimedia.

Mengolah Siasat, Menghembus Rasa

Secara sederhana komunikasi visual mengemban tugas, mengantar pesan dari pengirim kepada penerima melalui impuls visual. Ahli komunikasi sangat berperan dalam menentukan apa dan bagaimana komunikasi massa dibangun bagi masyarakat yang disasar. Pesan komunikasi selalu dilatari strategi, mempunyai tujuan tertentu kepada khalayak tertentu. Ahli komunikasi yang handal mampu merancang siasat yang jitu. Dalam mewujudkannya ke dalam bentuk visual, terdapat sejumlah masalah. Disinilah ahli komunikasi visual bekerja memecahkan, bagaimana menampilkan gagasan visual yang dapat “menyambungrasakan” pesan dengan penerima. Masalah “olah rasa” disini mengindikasikan keberadaan domain estetik dalam komunikasi visual.

Desain komunikasi visual memanfaatkan aspek estetik sebagai jembatan penghubung agar pesan mau diterima oleh khalayak. Periklanan kadang memakai istilah tone and manner untuk aspek ini. Tiap khalayak memiliki karakter dan nilai estetik yang berbeda dalam menanggapi wujud yang dilihatnya. Bahasa dan budaya rupa menjadi studi yang penting dalam menggali pengertian tentang aspek kognitif dan afektif terhadap objek visual.

Thomas Ockerse dalam ceramahnya tahun 2000 di ITB mengidentifikasi tiga jenis bahasa dalam komunikasi visual: bahasa practical yang bersifat kognitif bermakna tunggal, bahasa dialectic yang bersifat persuasif mengundang argumen, dan bahasa poetical yang merangsang imajinasi kepada kesadaran yang lebih tinggi. Ketiga jenis bahasa itu tak berdiri sendiri dalam satu impuls visual, melainkan saling mengisi. Dari ketiganya, aspek poetic menarik karena menampilkan sesuatu secara tersirat dengan maksud menawarkan sensasi puitik yang lebih dalam.

Bagian yang sulit diterangkan ini dalam proses komunikasi secara tersembunyi membentuk persepsi pelihat. Gambar mempunyai kekuatan emotif yang besar dalam menggerakkan rasa. A.D. Pirous menyampaikan dengan cara berbeda, yaitu kesatuan antara Head (pemikiran), Hand (ketrampilan) dan Heart (rasa) yang selalu muncul dalam karya komunikasi visual. Bahwa proses pemikiran merupakan dasar konseptual dalam desain, tak dapat dipungkiri. Ketrampilan dalam arti luas tak hanya bersifat fisik, tetapi kemampuan menggabung berbagai potensi ke dalam karya. Di atas segalanya, bagaimana olah rasa dihembuskan dalam karya, menentukan keberhasilan komunikasi visual.

Dalam pendidikan komunikasi visual kekuatan konseptual (head) menjadi landasan kukuh bagi siswa dalam mengidentifikasi masalah dan menggagas pemecahan yang sesuai. Hal ini dapat dilakukan dengan membekali kesadaran siswa tentang peranannya dalam pemecahan masalah komunikasi visual melalui latihan dan diskusi intensif dengan pembimbing. Perkembangan sistem kerja, metodologi, dan strategi dalam dunia komunikasi mengharuskan lembaga pendidikan memantau terus apa yang terjadi di industri komunikasi, agar siswa tak gagap saat terjun ke lapangan.

Mendesain, memotret, menggambar dan menyusun huruf jadi pekerjaan gampang yang bisa dilakukan siapa saja. Semangat ini tentu sejalan dengan demokratisasi desain, siapapun boleh menjadi desainer. Kemudahan ini merupakan tantangan bagi siswa, bagaimana menampilkan diri sebagai yang terbaik di antara jutaan desainer dadakan. Mengadu kecanggihan di ranah teknologi tak menjamin, karena teknologi makin murah bagi siapa saja, dan mengikuti kebaruannya hanya membuat kita menjadi budak. Dalam persaingan ini yang ditingkatkan bukan hanya kebaruan, tetapi juga kepekaan, sensibilitas mengolah aspek emotif / rasa tampilan desain. Kemampuan ini tampak dalam kepekaan memilih dan menyusun gambar / huruf dan elemen visual lain. Banyak siswa dan desainer mulai melirik kembali cara kerja manual, dengan tangan, untuk menampilkan keunikan yang tak dapat diciptakan komputer. Tampilan gambar maupun huruf yang tampak tak terlalu sempurna justru memberikan “rasa manusia”.

Dalam pendidikan komunikasi visual, latihan sensibilitas dan kreatifitas menjadi kunci. Hal ini menyebabkan praktik pendidikannya menjadi lebih rumit. Sensibilitas ditingkatkan melalui latihan melihat, membuka kepekaan seluruh indera, mengerjakan, menghayati, merasakan. Latihan kreatifitas menuntut siswa menggali jawaban sendiri. Jawaban yang sama adalah salah. Siswa diminta menemukan gagasan yang unik dan segar, tanpa melupakan tugasnya dalam proses transfer pesan yang dikehendaki. Jawaban yang sangat logis belum tentu menarik untuk dilihat, membosankan. Di sisi lain, jawaban unik yang menarik perhatian, mungkin tak sesuai tujuan pesan, menyesatkan. Pembimbing dalam latihan ini berperan sebagai “sparring partner” yang memotivasi siswa untuk terus mencari.

Berkecimpung di antara sisi kreatif dan sisi komunikatif membutuhkan usaha ekstensif, terus menerus melatih sensibilitas dan kreativitas olah visual. Keahlian yang diandalkan adalah menggali ungkap kreatif yang sesuai isi pesan, dan menyambungrasa tampilan dengan khalayak yang dituju. Horisonnya terbentang antara keapikan desain Swiss School hingga ke dekonstruksi David Carson, di antara kelembutan Prancis hingga absurditas Polandia, di antara keangguan parfum Nina Ricci hingga minyak Putri Duyung… Dimana letak “rasa” khalayak kita yang berjumlah duaratus limapuluh juta jiwa ini? Itulah tugas ahli komunikasi visual Indonesia menggali terus sepanjang negeri ini masih ada.

Beberapa Pustaka Acuan:

Bierut, Michael, (ed), 1997, Looking Closer 2, Allworth Press, New York Mierzoeff, Nicholas (ed), 1998, The Visual Culture, Routledge, London. Naisbitt, John & Patricia Aburdene, 1982, Megatrends, Megatrends Ltd. Pirous, A.D., 2003, Melukis itu Menulis, Penerbit ITB, Bandung Robinson, Jeffrey, 1998, The Manipulators, Simon & Schuster UK Ltd., London Toffler, Alvin, 1975, The Third Wave, Bantam Books Inc., New York Toorn, Jan van (ed), 1997, Design Beyond Design, Jan van Eyck Academy Edition

•••

Lengkapnya ada di situs DGI.
Enhanced by Zemanta
blog comments powered by Disqus