DKV UNPAS Bandung: Penelitian dalam Desain (Komunikasi Visual)

Arakanlebah, Komunitas DKV UNPAS Bandung

Penelitian dalam Desain (Komunikasi Visual)

at 11/23/2011 , View Comments

Sebuah artikel berjudul Basic vs Applied Research in Graphic Design pernah ditulis Michael Kroeger menanggapi kesimpangsiuran di dunia desain, antara Penelitian Murni dan Penelitian Aplikatif. Menurutnya, nilai yang secara tidak langsung ditanamkan dalam desain grafis adalah melatih para desainernya mengerjakan proyek nyata sebagai antonim dari pembelajaran melalui teori. Pendidikan desain memberi ruang pada mahasiswanya untuk menyelesaikan masalah-masalah mendasar, agar terbiasa dengan cara berpikir 'problem solving'. Tetapi tuntutan dari dunia industri semakin kencang, untuk menghasilkan desainer yang mampu mempraktekkan 'penelitian' aplikatif di dunia kerja.

Dalam banyak kasus, banyak praktisi desain yang menginginkan desainer lulusan pendidikan desain lebih fokus pada kemampuan aplikatif. Keinginan ini seringkali diterjemahkan sebagai pengabaian terhadap teori. Teori, menurut definisi Kamus Webster, adalah satu set gagasan yang berupaya menjelaskan sebuah fenomena. Tanpa memahami teori, hanya akan menyebabkan desainer berbuat sesuatu tanpa acuan yang jelas.

Tabel di bawah ini, dibuat Kroeger untuk membedakan penelitian murni dengan penelitian aplikatif. Dunia pendidikan hanya dapat menyediakan sebagian dari kemampuan dalam kedua jenis penelitian, karenanya dunia industri berperan besar dalam menumbuhkan pengalaman para mahasiswa. Praktek Kerja Lapangan, adalah salah satu upaya yang ditempuh.


Basic Applied
Theory: color, form, composition, content Internship, computer hardware / software  
Knowledge Experience
Learning Training
Non-linear = not in order Linear = predictable
Literary = poetic; experimental Practical = clients; business
Motive = transfer information Motive = profit
High-risk / low output Low-risk / high output


Jenis penelitian yang harus diadopsi oleh desainer pada akhirnya menjadi kesimpangsiuran tersendiri. Selama ini muncul kebingungan di pendidikan tinggi desain, metode penelitian seperti apa yang perlu diperkenalkan kepada calon desainer. Apakah metode penelitian murni, yang berorientasi pada pengembangan Pengetahuan, ataukah cukup penelitian aplikatif yang membantu pengerjaan Karya Desain?

Ada kebingungan antara Design Methodology dengan Research Methodology. Design Methodology sering diterjemahkan sebagai Metodologi Desain, sedangkan Research Methodology menjadi Metodologi Penelitian. Yang membingungkan adalah, desain itu sendiri dalam proses kerjanya mirip dengan penelitian, karena berupaya menyelesaikan masalah. Ketika Desain dan Penelitian, menjadi kata yang proses kerjanya dimaknai sama, muncullah kebingungan itu. Akan lebih baik jika memaknai kerja-kerja mendesain sebagai bentuk penelitian aplikatif, sedangkan mempelajari pengetahuan tentang Desain adalah sebuah kerja penelitian murni.

Istilah Design Research, juga pernah digunakan untuk menjelaskan tentang metodologi dalam desain. Kajian ini bisa turut menyumbang kebingungan, karena istilah 'riset' yang digunakan di situ, mengacu pada proses kerja desain, yang dalam hal ini memang erat hubungannya dengan kerja-kerja riset. Penggunaan istilah ini sendiri, sebenarnya mengacu pada istilah Design Methods, yang dibukukan oleh John Chris Jones (1992). Chris Jones menggunakan istilah ini untuk mejelaskan bagaimana cara kerja desainer dalam berkarya. Mungkin, konsistensi penggunaan istilah Design Methods bisa membantu mengurangi kebingungan tersebut.

Dalam sebuah paper yang ditulis Charles L. Owen, berjudul Design Research: Building the Knowledge Base, ia menegaskan bagaimana Desain sebagai ilmu, memang masih muda dan belum memiliki landasan sekokoh ilmu pengetahuan lain. Desain berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu, ia bukan sains, tetapi juga bukan seni. Design Research menurut Owen ini, jelas berbeda dengan yang dimaksud dengan artikel di www.uxbooth.com meskipun keduanya bisa sama-sama bermanfaat bagi dunia desain.
Design, as a discipline, is still young (or, per- haps, is a slow learner). At any rate, it has not developed the internal structures and under- standing that older disciplines have. Design is not science, and it is not art—or any other discipline. It has its own purposes, values, meas- ures and procedures. These become evident through comparisons, but they have not been extensively investigated, formalized, codified or even thought much about in literature created for the field. In short, there is little to point to as a theoretical knowledge base for design. As a result, those who seek to work more rigorously look to scientific and scholarly models for guid- ance, and we find references to "design science" and examples of "design research" that would seem to fit more appropriately in other fields.

Desain, sebagai sebuah disiplin ilmu yang lahir di ranah industri, memang memiliki banyak kaki di berbagai percabangan ilmu pengetahuan. Desain, paling tidak merambah ilmu tentang komunikasi, psikologi, dan seni rupa itu sendiri. Ia memang lahir sebagai salah satu gerakan seni rupa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan industri, di era revolusi industri dan setelahnya.

Owen dalam salah satu rekomendasinya, menyarankan agar ada pemisahan antara pendidikan desain untuk pengembangan keilmuan (penelitian murni tentang desain), dan pengembangan keprofesian desain yang lebih aplikatif. Dalam peraturan yang dianut pendidikan tinggi di Indonesia, aturan ini sebenarnya dikenal sebagai pemisahan antara program Strata-1 hingga S-3, dan keprofesian yang dikenal sebagai istilah Diploma-1 hingga Diploma-4, lalu Ahli Madya dan Utama. Tetapi pendidikan kesarjanaan lebih populer di kalangan konsumen pendidikan, sehingga pendidikan keprofesian dipandang sebelah mata. 

Sejarah mengenai desain, teori dasar penelitian, dan peluang untuk dapat bereksperimen secara langsung, penting bagi mahasiswa desain agar kemampuannya bisa berkembang dengan baik. Tuntutan dari dunia industri di atas, hanya akan menyebabkan desainer berkembang menjadi 'tukang', miskin inovasi karena tidak memiliki dasar pengetahuan (knowledge) yang kuat.

Penelitian dalam desain, yang saat ini cenderung mengikuti keinginan industri, memperkuat Design Research sebagai metode membuat desain, bukan pada pengembangan keilmuan desain. Sementara penelitian untuk perkembangan desain berjalan lambat, tak heran jika salah satu dosen senior di ISI Jogjakarta, menyatakan bahwa DKV telah mati suri. Ia telah mati suri, karena praktisinya tidak mengembangkan keilmuanya, tetapi sibuk menjadi tukang, melayani majikannya, industri.

Fenomena yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat, mungkin bisa menjadi pelajaran berharga. Perkembangan desain di Eropa, lebih banyak dikendalikan oleh dunia pendidikan, sementara di Amerika, lebih banyak dikendalikan oleh dunia industri. Dampaknya kemudian, di Eropa perkembangan desain lebih mudah tersebar luas, sementara di Amerika, cenderung tertutup karena dimiliki oleh industri. Mereka tentu lebih enggan berbagi hingga hal terdetil, karena bisa dianggap membuka urusan dapur.

Kemana kita akan bergerak?


Sumber tulisan Michael Kroeger: http://www.mkgraphic.com/basic.html [broken link]
blog comments powered by Disqus