DKV UNPAS Bandung: Brand SONY Nekad Tampil Sendiri di Pasar Smartphone

Arakanlebah, Komunitas DKV UNPAS Bandung

Semoga Anda bisa lihat apa yang aneh dengan merek ponsel pada ilustrasi artikel ini. Ya, tak ada lagi Sony Ericsson. SONY telah mengambil alih $1,47 milyar saham Ericsson secara penuh di lini produk ponselnya sejak Oktober lalu.

Tapi tunggu dulu. Apakah ini sebuah langkah bijak?

Diskusi kecil bersama seorang teman yang juga pengguna Soner (begitu biasanya orang menyingkat brand Sony Ericsson ini, dulu), membangkitkan pertanyaan di benak saya. Soal brand, dan bagaimana brand itu berdampak pada persepsi konsumen.

Brand SONY, selama ini dikenal sebagai penghasil produk audio visual dan multimedia, termasuk konsol game yang sangat populer, Sony PlayStation (PS). Secara umum, anak muda akan mengenal SONY sebagai merk konsol game, dan orang dewasa pada umumnya mengenal SONY sebagai merek TV, atau Handycam. Sedangkan Ericsson, orang awam sudah tentu akan mengenalinya sebagai brand telepon genggam atau telepon selular (ponsel). Paling tidak itulah temuan kecil dari diskusi dengan beberapa teman.

Pandangan itu bisa saja invalid.

Tetapi, sejak sebelum populernya smartphone (ponsel pintar), ponsel merek Ericsson dan Nokia, merupakan dua brand papan atas. Nokia yang dulu bermain di pasar ponsel pintar lewat Nokia Communicator, dan Ericsson dengan Ericsson R380 Smartphone, terlibas oleh kecanggihan Apple iPhone, dan Samsung. Sebelumnya, kedua brand masih tampak melenggang.

Plesetan untuk kedua brand bahkan jadi populer. Nokia menyebut dirinya "Teknologi yang Mengerti Anda", dan plesetan bagi Ericsson pun muncul, "Untuk Anda yang Mengerti Teknologi."

Kembali ke soal SONY dan Ericsson. Seandainya saja persepsi terhadap keduanya itu benar, maka pertanyaan apakah menghilangkan brand Ericsson dari lini produk SONY itu sebuah keputusan bijak, bisa jadi relevan.

Ketika melihat ponsel dengan brand SONY, asosiasi saya terhadap produk SONY selama ini terlalu kuat, sehingga kening mulai berkerenyit. Hingga hari ini, saya memakai produk SONY Ericsson karena dulunya sudah memakai Ericsson. Hingga akhirnya Soner memilih Android sebagai OS untuk seri ponsel pintar mereka, tata letak menu Ericsson dan SONY Ericsson menjadi pertimbangan utama kenapa malas berganti merk ponsel.

Saya percaya Ericsson punya teknologi untuk ponsel, dan SONY punya teknologi untuk audio visual dan multimedia. Bahwa fitur keduanya kemudian memperkaya Soner, itulah kelebihannya. Tapi kalau kemudian Ericsson hilang dari tampilan merk ponsel ini, kok terasa ada yang hilang. Bukan saja teks yang hilang, tapi sebagian kepercayaan saya terhadap kualitas ponsel ini ke depan jadi ikut luntur.

Apakah teknologi ponsel yang diambil dari Ericsson, tetap memperkaya ponsel ini ke depan?

Meski saya juga tidak yakin, bahwa selama ini Ericsson masih campur tangan dalam pengembangan teknologi ponsel Soner, tetapi keberadaan brand Ericsson di samping SONY, menjamin kepercayaan itu. Ini masalah nyaman tidak nyaman. Konsumen pada umumnya (rasanya) juga akan begitu. Tanpa kehadiran brand Ericsson di sana, agak sulit percaya produsen TV, handycam, konsol game, dan dulu walkman ini, juga kompeten membuat ponsel. Perubahan ini menggugat kenyamanan saya terhadap brand ponselnya.

Keraguan yang tidak berdasar, tetapi terkadang dalam persoalan branding, kepercayaan memang tidak harus logis. Pencitraan mampu menciptakan kepercayaan yang datang dari berbagai pendekatan, dan sisi emosional biasanya lebih mengedepan daripada persoalan ilmiah. Mental association terhadap suatu brand, bisa datang dari ranah lain yang sama sekali tidak relevan. Lihat saja iklan-iklan rokok.

Dalam email dari SONY (Ericsson) yang mampir ke inbox saya malam ini, mereka memang menjanjikan tidak adanya perubahan bagi konsumen. Mereka bahkan menjanjikan integrasi teknologi yang semakin serius di lini produk ponsel pintarnya, dengan produk SONY lainnya.

Ponsel Sony Ericsson Anda sudah mengusung teknologi Sony yang hebat. Namun, di masa mendatang, Anda bisa mengharapkan kepiawaian Sony yang lebih canggih lagi – serta konektivitas yang mudah dengan produk Sony lainnya yang mencakup televisi, komputer pribadi, dan komputer tablet yang memungkinkan Anda berbagi konten dengan mulus melintas beberapa layar.

Kita bisa tengok contoh lain, Google yang punya Nexus dan pernah membangun teknologi ponselnya dengan HTC, meski kemudian berbagi dengan Samsung. Kini Nexus menyandang brand Samsung, melalui lini Nexus S dan Galaxy Nexus. Google sebagai pemilik OS Android, tidak memaksakan brand Google sebagai merek tunggal ponsel-nya. Mereka hanya konsentrasi pada OS, sementara teknologi perangkat kerasnya dipercayakan pada Samsung. Belakangan, Google juga sudah membeli sebagian saham Motorola Mobility.

Kalau Google suatu saat juga mencoba membuat sendiri brand Google dalam ponsel berbasis Android-nya, siapa yang akan percaya mereka sanggup berinvestasi pada pengembangan teknologi ponsel seperti yang dilakukan Samsung dan Apple? Apakah kita juga bisa percaya dengan hanya brand SONY yang melekat di ponsel pintar di seri Xperia-nya?

Uang mungkin bukan masalah, bagaimana dengan sumber daya yang lain?

UPDATE: Sony Xperia S rencananya akan dirilis pertengahan April 2012, dibanderol kurang lebih Rp 5,5 juta. Dari Tempo.co.

*Gambar dari http://www.sonyericsson.com/
blog comments powered by Disqus