DKV UNPAS Bandung: Jeanny Hardono: Iklan Tak Sekadar Menjual

Arakanlebah, Komunitas DKV UNPAS Bandung

Jeanny Hardono: Iklan Tak Sekadar Menjual

at 9/10/2004 View Comments

MENCIPTAKAN iklan sebuah produk tidaklah sekadar berarti menawar-nawarkan agar konsumen membeli. Di dalamnya ada hal-hal tersembunyi yang kadang hanya bermaksud agar suatu produk gagasan atau ekonomi mencantol di kepala setiap orang.

Dengan begitu, iklan juga menyangkut seni berkomunikasi. Pada saat kesadaran itu muncul, barulah di Indonesia orang percaya bahwa harus ada orang-orang kreatif di balik penciptaan sebuah iklan atau reklame.

Masalahnya belum selesai. Sampai kini, seperti diakui Direktur Kreatif LOWE, Jeanny Hardono (49), justru kesadaran bahwa iklan juga menyangkut seni berkomunikasi tidak hadir secara menyeluruh.

"Klien kami jarang yang berani seperti klien-klien di Thailand atau Jepang. Jepang, terutama, banyak iklan yang pesannya kita tidak mengerti. Berarti klien mereka berani-berani...," ujar Jeanny di Jakarta akhir pekan ini.

Itu sebabnya, tak satu pun produk iklan televisi Indonesia yang pernah meraih predikat terhormat dalam Asia Pacific Advertising Festival (AP Adfest) yang telah diselenggarakan sejak lima tahun lalu. Karya-karya pemenang festival antara tahun 1998-2002 dipamerkan awal bulan ini di Bentara Budaya Jakarta, dan pada tanggal 20-27 Maret di Bentara Budaya Yogyakarta.

Menurut Jeanny, keterpaduan antara kreator, klien, dan konsumen sangat menentukan bentuk dan isi sebuah reklame. "Kadang klien lupa. Kami diminta membuat iklan seperti yang mereka mau. Padahal, kami berpegang pada apa yang konsumen mau," kata Jeanny yang pernah menjadi juri di AP Adfest tahun 2001.

Ambil contoh sebuah iklan yang memenangi kategori gold dalam AP Adfest tahun 2001. Seorang perempuan mencuci celana. Dari saku celana ia menemukan catatan nomor telepon, kemudian malah sebuah bra.

Wajahnya mengekspresikan ketidaksenangan. Dengan sekuat tenaga ia menyikat bagian depan celana, keras-keras, sampai akhirnya memuncak, menginjak-injak dan melemparkan celana. Lalu di layar tampil tulisan yang tak lain merek sebuah produk celana jins: Wrangler!

Ilustrasi itu menggambarkan iklan produk Thailand tersebut berani memanfaatkan idiom, yang terpeleset sedikit saja bisa membawa citra buruk kepada merek celana jins tadi. Konsumen bisa berkesimpulan bahwa jins sering dipakai selingkuh para lelaki.

Akan tetapi, bukankah pada satu sisi, iklan ini berhasil membuat semua orang teringat akan merek jins tertentu? Kalau kita ingat seorang perempuan yang cemburu, maka kita ingat merek jins itu. Bukan si lelaki pemilik celana, bukan?

"Terhadap yang seperti ini, klien kami masih berpikir. Kalau mereka belum berani, pastilah para creative agency tidak berani bereksperimen," kata istri dari Yodam Hardono ini.

BELAKANGAN ini, LOWE, sebuah creative agency yang berpusat di London, Inggris, telah membentuk satu divisi khusus yang menangani soal-soal riset konsumen untuk merencanakan sebuah produk kreatif reklame.

"Berdasarkan riset itu, kami berkreasi. Saya punya tim untuk memikirkan bentuk dan cara berkomunikasi lewat iklan. Tetapi, tetap ini mesti mendapatkan persetujuan lagi dari klien," tutur perempuan Ambon yang lahir di Sukabumi, Jawa Barat, ini.

Ia masih harus mencari rumah produksi dan sutradara sesuai dengan bentuk dan pesan yang diinginkan. Katanya, "Rentetannya panjang, tak selesai pada seorang direktur kreatif."

Dengan menjalani rentetan kerja yang panjang itu, dari tangan Jeanny lahir iklan, seperti seri pasta gigi Pepsodent atau seri sampo Clear serta Blue Band. Ia menggubah iklan sabun, seperti Rinso, Surf, Sunlight, dan Lifebuoy.

Sebelum diserahkan kepada agency lain, ia sempat melahirkan iklan sabun mandi Lux dengan bintang Ida Iasha. Semua merek-merek itu tak lain adalah produk dari Unilever yang menjadi klien terbesar dari LOWE.

Sentuhan tangan Jeanny tampak jelas, terutama pada Clear dan Pepsodent. Di situ ada semangat bahwa iklan tak sekadar menjual produk dengan menyodor-nyodorkan kepada konsumen. Iklan ini lahir dari studi yang mendalam tentang jiwa anak-anak muda yang berani tampil beda. Maka, muncul ungkapan "siapa takut" dalam reklame sampo Clear.

Satu seri iklan produk ini lokasi shooting-nya di sebuah desa di perbatasan antara Thailand dan Burma. "Saya bikin para tentara Thailand mengenakan seragam bak suku pedalaman, lalu mencari siapa yang memiliki ketombe. Maka, di situ, kan, ada seseorang yang digotong seperti hewan," tutur Jeanny. Lalu, seperti diduga, muncul ungkapan "siapa takut" itu.

Saat berada di lokasi, tutur ibu empat anak ini, terjadi beberapa kali kejadian aneh. Misalnya, saat-saat pengambilan gambar di satu tempat, angin tiba-tiba bertiup terus-menerus. "Ketika kami bersujud sebagaimana disarankan penduduk sekitar, angin pun hilang. Ini berulang-ulang...," tutur Wakil Ketua CCI (Creative Circle Indonesia) ini.

Sedangkan Pepsodent sendiri memang mengandalkan pendekatan rumah tangga. Karena pasta gigi ini, menurut riset, masih mengusai 70 persen dari pasar.

Produk ini, menurut Jeanny, telah menjadi kebutuhan dasar sebuah rumah tangga. Oleh karena itu, dalam mengiklankannya mesti dimunculkan sebuah keluarga muda dengan anak usia lima sampai 10 tahun.

"Di situlah muncul Tasya dan kakaknya itu," ujar Jeanny. Respons pemirsa setidaknya bisa dilihat dari kesan yang begitu mendalam kepada Tasya yang menggemaskan.

Sepertinya, semua orang ingin mencubit pipinya yang tembem itu, he-he-he... Produk Pepsodent di situ hadir seperti sebuah narasi yang justru berada di balik kegemasan orang terhadap Tasya. Sebuah teknik berkomunikasi yang mengesankan.

JEANNY memasuki dunia reklame secara tidak sengaja. Pada akhir tahun 1970-an, sarjana ekonomi ini diterima bekerja di Lintas (Lever Industrial Advertising Agency). Di situ sudah bergabung Djoko Lelono, seorang praktisi periklanan senior.

Oleh Lintas, Jeanny pernah ditugaskan selama tiga tahun di kantornya di Singapura sebagai copy writer. "Tahun 1981 saya kembali ke Indonesia dan bekerja di Lintas juga," kisahnya.

Tahun 2002 Lintas bergabung dengan creative agency dari Inggris, LOWE. Saat-saat pengalihan perusahaan ini pun didramatisir sedemikian rupa seolah-olah Lintas telah disegel.

"Kami semua dikumpulkan di GOR Bulungan. Semua pintu Kantor Lintas disegel. Eh, tahunya, di Bulungan kami meluncurkan logo baru, LOWE," tutur Jeanny penuh nada tawa.

Tahun 1970-an, di mana Indonesia baru saja mengenal dunia audio-visual seperti televisi, hampir seluruh iklan tergila-gila pada eksplorasi teknik kamera. "Saya ingat, kami gila sekali dengan teknik moving, seperti dalam lagu-lagu Michael Jackson, hingga lupa pada gagasan dan pesan," tambahnya.

Selama lebih dari 30 tahun pergulatannya di dunia periklanan, Jeanny tiba pada kesimpulan bahwa bermutu tidaknya sebuah produk reklame sangat tergantung pada kualitas pikir masyarakatnya. Ketika iklan-iklan di negara-negara Asia Pasifik lain menemukan humor sebagai sarana berkomunikasi yang efektif, kita masih berputar-putar pada soal cara menelikung konsumen agar membeli. Tentu saja dengan teknik agak kuno: menjejal-jejalkan merek produk secara terus-menerus.
Padahal, membeli "hanya" bagian lain dari sebuah gagasan beriklan. Harusnya sedikit banyak kita mencontoh para pedagang obat di pasar-pasar, yang beraksi dulu baru menjual.... (PUTU FAJAR ARCANA)


Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/27/naper/215054.htm (deadlink)
blog comments powered by Disqus